Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revolusi Pertanian, Pertanda Kemajuan atau Jerat Kehancuran Sapiens?

Kompas.com - 18/02/2022, 10:00 WIB
Sumber Foto: Gramedia.com
Rujukan artikel ini:
Sapiens Grafis vol. 2: Pilar-pilar…
Pengarang: Yuval Noah Harari
|
Editor Almira Rahma Natasya

Setelah membahas Revolusi Kognitif—yang memungkinkan Homo sapiens mengembangkan kemampuan berbahasa dan bercerita sehingga menjadi satu-satunya spesies manusia paling lama bertahan hidup—pada jilid pertama Sapiens Grafis, Yuval Noah Harari bersama komikus David Vandermeulen dan Daniel Casanave bergerak menghidupkan gambaran sejarah revolusi pertanian dalam buku keduanya, Sapiens Grafis: Pilar-pilar Peradaban.

Revolusi Pertanian diperkirakan terjadi 12.000 tahun lalu. Pada titik ini, manusia telah mengenal api dan sistem kerja sama yang cukup memadai.

Waktu makan menjadi lebih singkat, mulut manusia tak lagi digunakan untuk mengunyah seharian tapi bisa buat menggosip.

Perburuan jadi lebih mudah berakibat banyak megafauna punah.

Jarang-jarang para pemburu-pengumpul ini bisa pulang dengan daging buruan besar.

Kekhawatiran kekurangan cadangan makanan di masa depan mulai menghantui manusia.

Seperti mendapat bisikan gaib, Sapiens perlahan mengubah cara hidupnya.

Mereka mengusahakan makanannya sendiri dengan jalan menggarap ladang setiap pagi-siang-malam, sampai berbulan-bulan lamanya.

Karena punya tanah yang harus dijaga, mereka tak bisa pergi jauh.

Revolusi pertanian dengan cepat menjerat Sapiens untuk menetap, membangun rumah, dan mengembangkan rasa memiliki yang kuat.

Gaya Penjelasan Sejarah dari Sapiens Grafis Vol. 2

Dalam buku Sapiens Grafis Vol. 2: Pilar-pilar Peradaban, bisikan gaib itu digambarkan lewat sosok semalai gandum merah berkumis bernama Mephisto.

Ia menggoda anak manusia bernama Faustus dengan gagasan domestikasi, mengambil kendali atas tanaman.

Tanpa disadari, Faustus dan keturunannya menjadi budak Mephisto.

Revolusi Pertanian jelas membawa perbaikan taraf hidup Sapiens di berbagai sisi, seperti hidup yang lebih stabil, tempat bernaung yang lebih aman, dan cadangan makan berlimpah.

Namun kerja keras itu juga dibayar dengan kemalangan baru, yaitu ledakan populasi, kekerasan, kesenjangan sosial, kelaparan, dan wabah penyakit.

Sementara sebagian manusia lain yang memilih tetap menjadi pemburu-pengumpul tampak hidup bebas tanpa beban kepemilikan yang perlu dijaga dan mulut-mulut berlebih yang perlu diberi makan.

Bisa lihat nanti perbedaan kehidupan Bill dan Cindy yang sudah menjadi petani dibandingkan sepupu mereka yang senantiasa nomaden di Sapiens Grafis Vol. 2: Pilar-pilar Peradaban.

Melihat semua itu, rasanya kita pasti akan seperti Zoe (keponakan perempuan Yuval Noah Harari dalam versi grafis) yang mempertanyakan, “Mengapa Homo sapiens membuang kehidupan yang santai demi kehidupan yang menyusahkan?”

Sapiens begitu disibukkan dengan fantasinya akan produktivitas dan efisiensi.

Mereka giat mengendalikan perkembangan tanaman dan kelak juga hewan—fakta domestikasi yang akan sangat mengusik kesadaran kita—, lalu tanpa sadar mereka telah dikendalikan oleh raja, pendeta, birokrasi, dan uang.

Lihat saja bagaimana para petani yang begitu berjasa untuk peradaban, sekarang justru tergolong masyarakat miskin.

Panen berlimpah terpaksa dijual dengan harga murah, padahal untuk makan sehari-hari saja sudah susah.

Pada dasarnya, Sapiens terus belajar dari kesalahan dan mencoba memperbaikinya.

Saat perang dikobarkan untuk menguasai sejumlah kawasan, melancarkan perbudakan, sejumlah aturan dibuat guna membatasi pelanggaran dan menegakkan keadilan.

Namun Detektif Lopez (satu lagi karakter keren yang pasti sudah dikenali pembaca Sapiens Grafis: Kelahiran Umat Manusia) melihat upaya tersebut belum cukup.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Buktinya, budaya patriarki, sistem kasta, pelecehan seksual, ketimpangan sosial, dan kejahatan kemanusiaan lain masih merajalela di abad 21 ini.

Kalau begini, apa kita sudah berada di jalur yang benar? Investigasi Detektif Lopez kemudian mengarahkannya pada pria berkostum pahlawan super, Doctor Fiction.

Revolusi Pertanian jelas mengangkat derajat Sapiens ke puncak rantai makanan, mendorong peradaban bergerak maju.

Tapi umat manusia juga kian terjerat pada benang kusut tatanan khayalan yang dirajutnya sendiri.

Kisah selengkapnya, bisa kamu baca dalam Sapiens Grafis Vol. 2: Pilar-pilar Peradaban.

Popularitas Buku Sapiens di Indonesia

Novel grafis Sapiens merupakan adaptasi dari buku sejarah terlaris abad ini, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia karya Yuval Noah Harari.

Sapiens pertama kali terbit di Indonesia pada September 2017.

Jeda enam tahun dari kemunculan perdananya dalam bahasa Ibrani dan tiga tahun setelah buku ini diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Pada 2016, pendiri Microsoft, Bill Gates, membahas buku sejarah ini bersama (mantan) istrinya, Melinda, dan dalam waktu singkat Sapiens bergema ke penjuru dunia.

Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama merekomendasikannya sebagai buku yang menarik dan provokatif.

Sementara CEO Facebook (sekarang Meta Platform) Mark Zuckerberg menyandingkan Sapiens dengan Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, sebagai buku sejarah yang menjelajahi banyak pertanyaan penting untuk zaman sekarang.

Di Indonesia, popularitas Sapiens juga mewabah. Dari Ariel Noah, Maudy Ayunda, sampai Dennis Adishwara turut membacanya.

Bukunya laris manis bak kacang goreng, penjualan meningkat setiap tahun. Padahal sebelum itu, penjualan buku sains begitu landai.

KPG pun menangkap momen ini dengan menggelar Science Underground di Teater Utan Kayu, Jakarta pada 2019.

Sapiens jadi buku pertama yang dibahas dengan narasumber Budiman Sudjatmiko, seorang pembaca yang tekun, politisi, dan pendiri Innovator 4.0.

Di luar dugaan, lebih dari 500 orang tertarik mendaftar.

Tak ketinggalan, sejumlah podcast memperbincangkannya. Sebut saja di antaranya, Maripadabaca dan Buku Kutu.

Ulasan di Goodreads juga ramai, hampir 180 orang mengomentari buku ini dalam bahasa Indonesia.

Di YouTube apalagi, resensinya berlimpah. Bahkan ada yang rajin membuatkan pemetaan singkat agar buku ini lebih mudah dipahami.

Dr. Ryu Hasan (ahli bedah saraf) misalnya, ketika menjadi pembicara diskusi umum "REVOLUSI KOGNISI, Pengantar ke Pemikiran Yuval Noah Harari” bersama Majelis Pattingalloang (klub sains Pustaka Bergerak Indonesia & Perpusnas RI), menjelaskan “sejatinya tidak ada yang baru dalam buku Sapiens”.

Namun buku ini telah membuka gerbang dialog antara pembaca Indonesia dengan buku sejarah dan sains populer lain—minimal untuk buku yang jadi referensi menulis Harari, seperti buku-buku Jared Diamond dan Richard Dawkins.

Patut diakui, memang sejak Sapiens muncul, diskusi buku sains populer bergulir bagai bola salju di Tanah Air.

Semua buku di atas dapat dibeli secara online melalui Gramedia.com.

Selain itu, ada juga gratis voucher diskon yang dapat kamu gunakan tanpa minimal pembelian. Klik di sini untuk ambil gratis vouchernya!

Dapatkan Diskonnya! Dapatkan Diskonnya!

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau