Teringat kata-kata teman yang pamannya selalu berkata, “Dalam hidup jangan pernah berhubungan dengan pejabat, polisi, dan bank.”
Mertua dari seorang teman juga berkata seperti ini, ”Kalau Anda berutang sama bank, maka Anda nantinya hanya akan pakai celana dalam.”
Bagi generasi senior, utang itu jahat, buruk, dan memiskinkan.
Apakah itu salah? Hal ini tidaklah salah, yang salah adalah bagaimana sudut pandang kita melihat utang ini.
Utang sebenarnya dibagi menjadi dua, yakni utang produktif dan utang konsumtif.
Utang yang dimaksud oleh generasi senior tentu adalah utang konsumtif—utang yang bukan digunakan untuk mengembangkan usaha ataupun hal-hal produktif, melainkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif atau membeli barang-barang yang nilainya cenderung turun.
Tentu ini adalah hal yang negatif dan tidak bagus.
Kekhawatiran lain yang sering muncul adalah bagaimana utang dapat membebani pikiran.
Ketika seseorang berutang, pola pikirnya akan terjerembap dalam siklus membayar setiap bulan sehingga tidak bisa fokus bekerja dengan tenang.
Misalnya, seseorang ingin membeli mobil tetapi tidak memiliki cukup uang, lalu memilih berutang pada bank.
Inilah yang disebut sebagai utang konsumtif karena mobil adalah barang yang nilainya akan terus menurun seiring waktu.
Contoh lain adalah ketika produk HP terbaru dari Apple ataupun Samsung dirilis, banyak orang rela antre untuk membelinya.
Jika tidak memiliki cukup uang, mereka membelinya dengan utang bank yang menawarkan cicilan tetap selama 12 bulan dengan bunga 0%.
Sekilas ini tampak seperti pembayaran tunai karena tidak ada bunga.
Namun, ini juga disebut sebagai utang konsumtif karena HP dan barang elektronik lainnya memiliki nilai yang terus menurun dari waktu ke waktu.
Ketika suatu utang bersifat produktif, yaitu digunakan untuk mengembangkan usaha atau membeli barang-barang yang nilainya meningkat, maka utang ini akan menjadi seru sekali.
Dengan strategi yang tepat, kekayaan kita akan lebih cepat berlipat ganda.
Contohnya, membeli emas atau properti termasuk ke dalam utang produktif karena nilainya cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Bagaimana caranya? Misalnya, seseorang membeli properti menggunakan KPR bank senilai Rp1 miliar dengan DP Rp100 juta, tenor 15 tahun, dan cicilan per bulan sekitar Rp10 juta.
Delapan tahun kemudian, saat membutuhkan dana, properti tersebut dijual senilai Rp2 miliar.
Maka, seseorang tersebut akan mendapat keuntungan sebagai berikut:
Rp2 miliar – Rp100 juta (DP) – (Rp10 juta x 8 tahun x 12 bulan) – Rp490 juta (outstanding plafon) – Rp50 juta (pajak penjualan) = 400 juta rupiah.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Namun, baik utang konsumtif maupun utang produktif tetap memiliki risiko karena adanya kewajiban cicilan yang harus dibayar.
Misalnya dalam utang produktif, jika properti diagunkan untuk bisnis, bagaimana kalau bisnisnya tidak jalan? Atau jika karyawan mengambil KPR untuk membeli rumah, bagaimana kalau dia tidak bisa membayar cicilannya?
Ya, ini memang suatu risiko yang tidak bisa kita hindari.
Sebenarnya dalam setiap tindakan yang kita kerjakan pastinya mengandung risiko.
Bahkan sekadar berjalan kaki ke pasar pun memiliki risiko, seperti tertabrak mobil.
Namun, risiko dapat dimitigasi.
Misalnya, dengan berjalan di sisi kiri jalan, menyeberang dengan hati-hati setelah melihat kanan dan kiri, serta menggunakan sepatu agar langkah lebih stabil.
Menurut Warren Buffet, ”Risk comes from not knowing what you are doing” - Risiko itu datangnya karena Anda tidak paham dengan apa yang Anda lakukan.
Lalu, bagaimana kalau bisnisnya tidak jalan? Bagaimana cara memitigasi risikonya? Pertama, jalankan bisnis yang memang sesuai dengan keahlian.
Sikap rendah hati dan kemauan untuk terus belajar sangat penting, baik dalam memahami perubahan perilaku karyawan maupun pelanggan, serta terus berinovasi.
Dari sisi keuangan, jika mendapatkan plafon Rp1 miliar, jangan langsung menginvestasikan semuanya ke bisnis.
Cukup gunakan separuhnya yaitu senilai Rp500 juta.
Sisanya bisa diinvestasikan ke instrumen yang memiliki risiko rendah seperti reksa dana pasar uang atau logam mulia emas (LM).
Jika sebagai karyawan, bagaimana cara memitigasi risiko cicilan? Kembangkan keterampilan dan terus belajar agar dapat beradaptasi dengan perubahan.
Bangun multi stream of income, dengan berinvestasi di instrumen berisiko rendah seperti reksa dana, logam mulia, peer to peer lending, atau equity crowdfunding.
Selain itu, ingatlah untuk selalu menghemat pengeluaran.
Pelajari financial education, terapkan sistem budgeting, dan kelola keuangan secara baik agar tetap terkontrol dan aman.
Kabar baik! Semua ini dapat Anda pelajari dalam buku Kapan Punya Rumah? Karya Eric Hermanto
Buku yang sangat komprehensif ini membahas langkah-langkah dan strategi membeli rumah pertama Anda.
Bahkan, jika Anda sudah punya rumah, ada panduan untuk naik kelas menjadi investor properti.
Semuanya dibahas dengan detail di buku ini.
Dapatkan bukunya di Gramedia terdekat, Gramedia.com, atau cek link bio IG @kapanpunyarumah_!