Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nuansa Berbeda Jemaah Islamiyah

Kompas.com - 23/04/2025, 09:00 WIB
Rujukan artikel ini:
JI The Untold Story: Perjalanan…
Pengarang: Irjen. Pol. Sentot Prasetyo,…
Penulis Nia Lavinia
|
Editor Ratih Widiastuty

Sinopsis Singkat

Sesuai dengan judulnya, buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah (2024) membahas perjalanan organisasi Jemaah Islamiyah (JI)—sebuah organisasi yang dikenal sebagai kelompok radikal-teroris paling terorganisir dan berbahaya di Indonesia—dari awal mula terbentuk hingga keputusan mereka untuk membubarkan diri dan meninggalkan kekerasan.

Meskipun ditulis oleh Irjen. Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K—Kepala Densus 88 AT, yang logikanya menjadi orang yang paling berkepentingan menghilangkan organisasi JI, buku ini sama sekali tidak berusaha mendemonisasi JI.

Sebaliknya, Irjen. Pol. Sentot Prasetyo justru bicara dari perspektif mereka.

Buku ini menjadi medium untuk memahami JI sejelas-jelasnya, siapa itu JI? Apa alasan mereka melakukan kekerasan? Bagaimana dinamika organisasi selama ini? Serta, mengapa mereka membubarkan diri?

Pertanyaan terakhir tentu menjadi topik penting untuk dibicarakan karena sampai saat ini banyak pihak masih meragukan keputusan mereka untuk tidak lagi terlibat di jalan kekerasan.

Apalagi, JI mengklaim bahwa pascabubar mereka berkomitmen untuk berkontribusi membangun negeri.

Semua ini terkesan terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, kan?

Dalam 13 bab yang ada di dalam buku ini, Irjen. Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K menawarkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Beliau menuntun kita untuk mengenal dan memahami JI, apa itu organisasi JI, bagaimana mereka terbentuk, apa saja DNA, diktum, dan strategi yang mereka jalankan.

Serta mendengarkan klarifikasi mereka atas berbagai kejadian yang selama ini tidak pernah diberikan penjelasan, hubungan dengan NII, fakta kejadian Bom Bali, keterkaitan dengan Al-Qaeda, pandangan terhadap jihad dan NKRI, serta permintaan maaf dan alasan tulus yang melatarbelakangi pembubaran organisasi.

Nuansa Berbeda Jemaah Islamiyah

Ketika membaca terkait Jemaah Islamiyah (JI), baik melalui buku maupun jurnal ilmiah, yang langsung terbayang di pikiran saya adalah sebuah kelompok kejahatan terorganisir selevel mafia: bengis, tak terduga, tersembunyi tapi ada di mana-mana, dan sangat persisten meskipun negara mencoba segala cara untuk mengeliminasi mereka.

Nyatanya, kesan berbeda saya tangkap dari buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah (2024).

Kisah-kisah yang dituliskan oleh Irjen. Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K ini memberikan nuansa yang berbeda atas eksistensi JI.

Membaca buku ini seperti sedang diajak untuk berdialog langsung dengan tokoh-tokoh senior JI seperti Ustaz Abu Rusydan, Ustaz Para Wijayanto, Ustaz Zarkasih, Ustaz Abu Fatih, Ustaz Bangkir, dan nama-nama lain yang selama ini sangat berjarak dengan khalayak.

Buku ini kemudian terasa menjadi sangat otoritatif karena Irjen. Pol. Sentot Prasetyo yang memiliki akses langsung terhadap tokoh-tokoh prominen dalam internal JI, memilih untuk menyertakan pandangan-pandangan mereka secara apa adanya.

Menyingkap berbagai perdebatan, negosiasi, dan kompromi yang selama ini tidak pernah orang ketahui.

Nuansa berbeda itu datang dari keluwesan penulisan Pak Sentot dan penuturan dari para tokoh JI yang berusaha terbuka.

Contohnya, soal penggunaan kekerasan.

Alih-alih melihat JI sebagai sebuah organisasi yang satu suara dalam segala hal, buku ini menawarkan pembacaan yang berbeda.

JI sebagai sebuah organisasi ternyata tidak bisa menyeragamkan isi kepala anggotanya, sebagaimana dibuktikan dalam kasus Bom Bali.

Kala itu, organisasi tidak menyetujui rencana aksi Bom Bali tapi anggotanya tetap melakukan aksi.

Ibaratnya, sama seperti ketika seorang ayah memberikan pengajaran pada anak-anak mereka, sang anak bisa jadi memiliki agensi dan jalan pemikiran yang berbeda.

Nuansa yang berbeda juga saya tangkap dari bagaimana Pak Sentot melacak awal mula organisasi ini berdiri.

Ketika literatur lain secara mantap menyandingkan JI dan NII bahkan Al-Qaeda, dalam buku ini diketahui bahwa DNA JI justru lebih lekat dengan Masyumi.

Nama M. Natsir muncul sebagai pendiri pesantren Ngruki sekaligus role model bagi JI untuk dapat menegosiasikan agama (syariat islam) dengan konstitusi melalui Piagam Jakarta.

Tokoh-tokoh JI juga berusaha mengklarifikasi bahwa hubungan JI dan NII serta Al-Qaeda jauh berbeda dengan apa yang selama ini publik pahami.

JI dan NII serta Al-Qaeda memiliki distingsi dalam hal akidah dan ideologi, yang membuat NII dan Al-Qaeda dianggap menyimpang, terlalu ekstrem dan tidak sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jemaah yang menjadi rujukan JI.

NII dan Al-Qaeda juga terlalu politis, eksklusif, takfiri dan terlalu fokus pada jihad perang serta kekerasan.

NII juga mendakwa NKRI sebagai negara kafir yang harus diperangi sampai akhir.

Sementara JI secara organisasi memandang bahwa tujuan mereka bukan politis, melainkan dakwah dan pembinaan pendidikan.

JI juga tidak serta merta menghukumi seseorang sebagai kafir tanpa ada landasan keilmuan yang disertakan.

Selain itu, jihad bagi JI bukan semata-mata melakukan perang, melainkan bersiap untuk membela Islam jika diserang.

Jihad juga bukan ditujukan untuk melawan pemerintah yang sah.

Bagi JI, pandangan-pandangan ekstrem yang dimiliki NII dan Al-Qaeda dipengaruhi oleh pemahaman yang keliru dan kuatnya pengaruh dari hawa nafsu.

Oleh karenanya, untuk tidak terjebak pada masalah yang sama, JI selalu menekankan pentingnya pendidikan dalam organisasi mereka.

Beda Kepala Beda Nuansa

Salah satu bagian yang dibahas secara detail dalam buku ini adalah mengenai perbedaan strategi yang dimiliki JI dari masing-masing amir atau pemimpin dari organisasi.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Pada masa kepemimpinan Ustaz Abdullah Sungkar, JI mewujud sebagai sebuah organisasi keagamaan yang sangat prinsipiel terhadap syariat Islam.

Berpedoman pada Pedoman Umum Perjuangan Jemaah Islamiyah (PUPJI) pada masa ini, JI menggalang dukungan dan mengorganisir diri secara apik.

Setiap keputusan penting dalam organisasi juga diambil melalui musyawarah yang melibatkan seluruh pemimpin wilayah.

Pada masa ini, JI bernuansa ‘sakral‘.

Sementara pada masa kepemimpinan Ustaz Abu Bakar Baasyir (ABB), bagi sebagian anggota, JI sudah mulai “menyimpang“ dengan doktrin yang lebih radikal.

Kala itu Ustaz ABB sudah mulai mengajarkan nilai-nilai antipemerintah sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan Asas Tunggal Pancasila yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Secara organisasi, JI juga tidak lagi terorganisir dengan baik.

Terbukti dengan keberadaan pihak-pihak yang membuat keputusan mereka sendiri.

Dalam masa ini juga banyak terjadi perpecahan di dalam organisasi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat dalam memandang penggunaan kekerasan, kewajiban untuk berjihad, dan status Indonesia sebagai arena jihad.

Pada akhirnya, perpecahan tersebut menandai kemunduran JI yang juga semakin terpukul oleh masifnya operasi penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat.

Dengan banyaknya aksi kekerasan yang terjadi, pada masa kepemimpinan Ustaz ABB, JI bernuansa mencekam.

Terakhir, pada masa kepemimpinan Ustaz Para Wijayanto, masa di mana JI melakukan reorientasi dalam strategi dan arah perjuangan mereka.

Setelah merefleksikan diri, Ustaz Para memahami bahwa cara-cara kekerasan yang selama ini dilakukan bersifat kontraproduktif terhadap perjuangan JI.

Oleh karenanya, Ustaz Para memandang bahwa PUPJI sudah tidak lagi relevan.

Sebagai penggantinya ia menyusun diktum baru yang dinamai Strataji.

JI dalam kepemimpinan Ustaz Para sepenuhnya bernuansa berbeda.

JI menjadi lebih bernuansa reformis, hal ini dapat dilihat dari: JI tidak lagi mengandalkan pengumpulan dana melalui fa’i atau perampokan, melainkan dengan membuat yayasan dan/atau lembaga pengelola zakat, infak, dan sedekah.

Ustaz Para juga mempromosikan keterlibatan anggota JI dalam pemerintahan karena perjuangan JI lebih efektif jika dilakukan melalui jalur politik.

Yang tidak kalah penting, pada masa ini juga JI menyudahi sayap militer (asykari) dan berhenti beroperasi secara rahasia—hingga pada akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan yang berbeda, membubarkan organisasi sepenuhnya.

Untuk membuktikan keseriusan JI membubarkan diri, dalam buku ini turut disertakan argumen yang bersumber dari kajian terhadap hadis-hadis dan ayat dalam bentuk 43 pertimbangan syar’i untuk membela NKRI, foto-foto yang menjadi bukti pelucutan senjata, kegiatan evaluasi kurikulum di pesantren-pesantren yang terafiliasi dengan organisasi, serta yang paling utama, permohonan maaf kepada korban dan masyarakat Indonesia lainnya.

Kelebihan dan Kekurangan Buku JI The Untold Story

Kelebihan buku ini adalah memuat banyak informasi yang terbatas—atau bahkan tidak diketahui sebelumnya.

Buku ini terasa bermakna karena berisi refleksi dari anggota dan pimpinan JI yang tidak pernah dituliskan sebelumnya.

Namun demikian, terdapat kekurangan terkait adanya inkonsistensi pembahasan di dalam buku.

Contohnya, pada beberapa bagian, penulis terkesan seperti sedang membicarakan dua organisasi yang sepenuhnya berbeda.

JI, misalnya, di bagian awal buku diposisikan sebagai pihak yang berjarak dengan aksi-aksi kekerasan yang pernah dilakukan.

Terbukti terdapat penggunaan kata ‘oknum‘ dalam merujuk pelaku kekerasan.

Namun, di bagian lain seperti pada Bab 6, JI dilekatkan dengan aksi-aksi radikal-terorisme.

Selanjutnya, di bagian lain, penulis juga terkesan memberikan nuansa yang terlalu positif bagi JI.

Ketika membahas pandangan JI terkait mendirikan Daulah Islamiyah di Yaman dan Suriah, tone yang digunakan cenderung positif, seakan-akan jihad dan/atau penggunaan kekerasan pada arena global diperbolehkan selama bukan terjadi di Indonesia.

Padahal, keduanya turut menciptakan kekacauan.

Terakhir, meskipun Irjen. Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K merupakan representasi dari aparat keamanan, khususnya Densus 88, hanya sedikit bagian yang menyinggung terkait peran Densus 88.

Konsekuensinya, terkesan seperti Irjen. Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K hanya mengartikulasikan pandangan-pandangan JI dalam buku ini.

Kesimpulan

Buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah (2024) adalah buku yang penting dan sangat menarik untuk dibaca.

Utamanya, jika pembaca tertarik untuk mengulik sejarah dan dinamika yang terjadi di dalam organisasi radikal-terorisme terbesar di Indonesia—bahkan di Asia Tenggara.

Buku ini bukan hanya menggambarkan bagaimana sebuah kelompok kekerasan bisa terbentuk hingga alasan-alasan yang melatarbelakangi mereka membubarkan diri, tetapi juga menggambarkan bagaimana kejujuran, keterbukaan, transparansi, dan mengakui kesalahan—tanpa menutup-nutupi kejadian, merupakan bagian yang vital dalam proses rekonsiliasi.

Buku ini juga penting untuk dijadikan rujukan akademik khususnya dalam memperbarui pengetahuan terkait sejarah dan strategi dari organisasi JI.

Dapatkan buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah (2024) di Gramedia.com.

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau