Jamaah Islamiyah (JI) berdiri pada 1 Januari 1993 dan dikenal sebagai organisasi teroris terbesar di Asia Tenggara.
Dengan tujuannya mendirikan negara Islam, mereka memilih jaringan yang nyaris mustahil dilacak oleh aparat berwenang.
Dengan persiapan matang dan cakap, JI bertanggung jawab sebagai otak beragam aksi teror di Indonesia.
Sebut saja peledakan gereja serentak pada malam Natal dan Tahun Baru tahun 2000 dan 2001, Bom Bali I tahun 2002, Bom Marriot pertama tahun 2003, kasus Bom Kedubes Australia tahun 2004, Bom Bali II pada 2005, hingga berbagai serangan teror mematikan lainnya.
Kabar mengejutkan bagi semua pihak datang ketika JI memutuskan membubarkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI.
Apa faktor penyebab JI akhirnya bubar? Apakah hal ini adalah retorika semata atau murni dari dalam diri? JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah menjawab tuntas sejarah, ideologi, serta perubahan besar yang dialami kelompok radikal ini pasca membubarkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI.
Sesuai judulnya, buku setebal 442 halaman ini mengupas tuntas sederet fakta mengenai kelompok radikal JI yang selama ini tidak diketahui publik.
Dikemas dalam 13 bab, setiap babnya memaparkan deretan fakta dari sudut pandang para petinggi dan anggota JI itu sendiri.
Dengan pembukaan yang cukup humanis, penulis yang merupakan Kadensus 88 Anti Teror Polri yang masih menjabat hingga hari ini menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia sepatutnya mengapresiasi keputusan jaringan ini.
Faktanya, kelompok yang anggotanya tersebar di seluruh Indonesia tersebut rupanya sudah lama ingin bubar.
Tanpa intervensi, mereka bahkan secara sukarela menyerahkan persenjataan, membantu kepolisian memberikan informasi anggotanya yang masih berstatus buron.
Keseriusan ingin berubah juga ditunjukkan dengan membuka diri pada pemerintah terlibat dalam mengevaluasi kurikulum ajaran 42 pesantren di Indonesia yang terafiliasi JI.
Di bab berikutnya, petinggi senior JI menjelaskan perbedaannya dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Selama ini, JI memang identik dengan sang ‘embrio awal’ NII.
Padahal, keduanya berbeda.
Mulai dari pemahaman perihal konsep jihad hingga landasan ilmu di baliknya.
NII semata fokus bahwa jihad bisa dimaklumi jika disertai aksi kekerasan, berbeda dengan JI yang mengedepankan kajian ilmiah dalam merumuskan jihad sejati.
NII juga cenderung takfiri (mengafirkan orang lain yang berbeda pandangan) yang justru ditentang JI.
Menariknya, konsep jihad nyatanya sudah ada demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 1945 silam, yang mana para pejuang mengangkat senjata untuk Indonesia berdaulat.
Sayangnya, konsep ini melenceng dan disalahpahami oleh umat Islam yang tidak memahami Islam secara komprehensif.
Kendati struktur organisasi JI telah dirancang sedemikian rapi, keberadaan JI mulai terimpit karena mendapat tentangan dari muslim moderat.
Densus 88 selaku satuan kepolisian yang memerangi terorisme bukanlah jargon semata, mereka melakukan operasi besar-besaran untuk mempersempit ruang gerak JI.
Pergerakan diawasi secara ketat, ratusan anggota bahkan petinggi senior ditangkap dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum.
JI perlahan mulai pincang, tetapi bukan berarti runtuh seutuhnya.
Itu semua disebabkan proses rekrutmen JI yang sangat rapi bak perusahaan profesional.
Kader ideal disaring dari berbagai pondok pesantren dan ditempa mulai dari mental, fisik, juga menanamkan ideologi yang sejalan dengan JI.
Di mata santri dan calon anggota, JI terlihat ‘seksi’ karena dinilai memiliki visi jangka panjang dan realistis.
JI juga ‘bermain aman’ karena tidak terang-terangan menyerukan kekerasan.
Hal itu dibuktikan dengan smooth approachment JI yang terarah dan menarik simpati masyarakat.
Di segi ilmu, JI memboyong tokoh agama yang telah memiliki banyak massa untuk melangsungkan dakwah terbuka.
Pendekatan politik juga dilakukan dengan bergabung ke partai politik agar tidak dicurigai.
Siapa sangka, Farid Ahmad Okbah yang ditangkap pada 16 November 2021 telah lama berkamuflase dengan mengisi jabatan penting di Komisi Fatwa MUI.
Sebelumnya, Densus 88 turut menangkap anggota aktif JI yang berprofesi sebagai PNS dan guru.
Dalam urusan pendanaan, JI memanfaatkan kedermawanan masyarakat Indonesia dengan mengadakan gerakan kemanusiaan melalui donasi.
Salah satunya pendirian Lembaga Amil Zakat Abdurrohman Bin Auf (LAZ-ABA) yang menyebarkan belasan ribu kotak amal di berbagai minimarket di seluruh Indonesia.
Dana inilah yang kelak digunakan untuk berbagai aktivitas operasional JI.
Mengapa JI dijuluki organisasi teroris berbahaya tampaknya cukup beralasan.
Selain struktur pusat, mereka membangun struktur cadangan.
Tujuannya tentu saja sebagai back up jika pusat rubuh oleh intervensi aparat.
Sebagai negara yang lantang menolak terorisme, operasi Densus 88 kian gencar.
Ratusan anggota ditangkap, senjata dan amunisi dilucuti.
Densus 88 turut mematikan server mandiri yang selama ini menjadi andalan JI berkomunikasi dengan jihadis internasional.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Mau tak mau, JI harus berubah.
Selain penyerahan senjata, para petinggi sepakat menyudahi label JI sebagai organisasi tertutup dan rahasia yang mengedepankan pendekatan militer.
Anggota yang masih aktif dan masuk DPO diminta untuk menyerahkan diri.
Mereka diimbau melepaskan baiat yang selama ini mengikat mereka sebagai bagian dari JI.
Dari balik bui, petinggi senior merumuskan nasihat 642 dan 42 pertimbangan syar’i yang menjadi alasan kuat penerimaan JI terhadap NKRI dan Pancasila sebagai asas tunggal negara.
Dalam salah satu bab, Ustaz Para Wijayanto selaku amir terakhir JI mengemukakan pandangan apa sebenarnya akar masalah radikalisme di Indonesia.
Pertama Fitnah Subhat, yaitu kurangnya ilmu.
Saat seseorang mempelajari agama setengah-setengah, maka kesimpulan yang diraih akan keliru.
Pemahaman agama yang tidak selesai, penggunaan ayat dan hadis yang akhirnya menjadi pembenaran kelompok radikal melakukan tindak kekerasan.
Termasuk jihad yang selama ini dipandang membolehkan aksi kekerasan tanpa batas.
Padahal, jihad maknanya lebih luas dan bisa diwujudkan dengan berbagai cara yang lebih positif.
Kurangnya ilmu diperparah dengan Fitnah Syahwat alias hawa nafsu.
Nafsu, pembenaran, ideologi yang telah lama melekat membuat pelaku terror gengsi mengakui kesalahan dan kembali ke jalan yang benar.
Mereka tahu dan tersadar apa yang dilakukannya salah, tetapi enggan membuka diri terhadap ilmu yang benar.
Nanti identitasku hilang, sia-sia dong pengorbananku selama ini, sekiranya itu yang tergambar dalam benak anggota kelompok radikal jika harus meninggalkan dunianya.
Faktor lain adalah salah persepsi anggota menyamakan Indonesia dengan negara yang sedang dilanda konflik seperti Afghanistan, Filipina, atau Suriah.
Mereka memafhumi aksi kekerasan normal dalam tujuan pendirian Negara Islam.
Padahal, mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim dan Indonesia mengedepankan tolerasi dalam kehidupan beragama.
Sebagai masyarakat awam, buku ini membuka cakrawala saya melihat JI yang dicap biang kerok terorisme selama ini.
Tak kenal maka tak sayang, buku ini dapat menjadi pembuka bagi kita masyarakat bahwa Indonesia yang damai dan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dapat bersinergi dengan baik.
Menjabat sebagai Kadensus 88 AT Polri, Irjen. Pol. Sentot Prasetyo menulis buku ini dengan berimbang.
Beliau menggunakan dua kacamata berbeda: point of view dari segi tokoh internal JI dan tugas beliau menegakkan hukum; memberantas terorisme di Indonesia.
Dengan penyampaian sederhana, buku ini dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembaca disuguhi fakta aktual dan trivia menarik yang berasal dari tokoh JI itu sendiri.
Sebagai muslim yang masih terus belajar mendalami agama sendiri, buku ini ibarat kamus yang di dalamnya membeberkan istilah dalam Bahasa Arab yang ada dalam ayat Al-Qur’an.
Seperti amaliyat (operasi berkaitan dengan terror), takfiri (kecenderungan mengafirkan orang tanpa filter), imamah (kepemimpinan), dan istilah lainnya.
Tak hanya tulisan semata, di akhir buku ini turut melampirkan dokumentasi foto operasi Densus 88 selama ini berjuang meluluhlantakkan terorisme.
Foto dikemas berwarna sehingga pembaca mendapatkan gambaran dan serasa terlibat langsung dalam operasi penangkapan pelaku.
Secara keseluruhan, saya tidak menemukan typo yang membuktikan buku ini ditulis dan melalui proses editing yang cermat.
Berhubung saya lulusan Sarjana Hubungan Internasional, saya tidak menemukan kekurangan berarti di buku ini.
Namun, mungkin buku ini akan terasa cukup ‘berat’ bagi orang yang belum terbiasa membaca buku topik serius.
Buku ini rasanya akan menghambat jika dibaca oleh orang yang berpikiran sempit.
Sekali lagi, tujuan buku ini adalah mengedukasi orang awam tentang seluk beluk JI yang sesungguhnya.
Tak kalah penting, saya turut mengapresiasi kinerja Polri dalam menuntaskan kasus terorisme.
Berbeda dengan negara Barat yang cenderung menutup pintu terhadap pelaku terorisme sehingga menciptakan efek domino lanjutan, Densus 88 memilih pendekatan persuasif.
Upaya yang dilakukan tak semata penegakkan hukum, namun juga pencegahan dan identifikasi sosial.
Berlawanan dengan prinsip ‘no dialogue with terrorists’, Densus 88 justru membuka dialog dan membangun kepercayaan terhadap petinggi yang tengah menjalani hukuman.
Tak berfokus pada berapa banyak anggota yang ditangkap, Densus 88 turut memikirkan strategi rehabilitasi.
Tujuannya, agar orang yang pernah terjebak dalam gerakan radikal dapat kembali ke masyarakat dan menjalani kehidupan normal.
Berkaca pada Peace by Peaceful Means besutan Johan Galtung ahli Studi Perdamaian asal Norwegia, pendekatan represif hanya memperburuk ketegangan dan membuat pola kekerasan semakin kuat.
Pada akhirnya, jihad sejatinya dapat dilakukan dalam berbagai cara baik itu jihad ekonomi, jihad ilmu, dan kolaborasi positif lainnya untuk membangun Indonesia karena kemantapan meneruskan jihad harus diiringi kepercayaan: Jihad tidak boleh jahat.
Buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah bisa dibeli secara online di Gramedia.com.