Pendekatan dialog yang humanis, penuh empati dan berbasis pemberdayaan terbukti efektif dalam menangani persoalan kekerasan yang telah mengakar dalam kelompok radikal.
Buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah mengupas perjalanan panjang Jemaah Islamiyah (JI), kelompok radikal yang pernah memiliki pengaruh besar di Asia Tenggara.
Ditulis oleh Kepala Densus 88 Polri, buku ini menghadirkan data dan fakta secara rinci, berdasarkan kesaksian langsung dari para mantan anggota serta pimpinan JI.
Pembaca diajak menelusuri bagaimana organisasi ini berkembang, menyebarkan ideologinya, membangun jaringan, hingga akhirnya memilih untuk membubarkan diri dan kembali berkomitmen kepada NKRI.
Selain membahas strategi dan struktur JI, buku ini juga menggambarkan dinamika internal, perbedaan pandangan di antara anggotanya, serta faktor-faktor yang mendorong perubahan sikap mereka terhadap negara dan sistem pemerintahan.
“Kita harus mengakui bahwa banyak dari mereka yang kemudian melakukan aksi terorisme adalah anggota JI, tetapi itu bukan berarti semua anggota JI terlibat atau setuju dengan tindakan tersebut.” (halaman 7)
Kutipan dari pernyataan Ustaz Zarkasih, mantan Amir JI tersebut, menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar di internal JI dalam menyikapi tindak kekerasan.
Aksi terorisme yang dilakukan para anggota JI tidak diakui sebagai perintah langsung atau persetujuan organisasi.
Fakta ini akan dikupas tuntas dalam bab-bab awal sebelum membahas bagaimana proses deradikalisasi dijalankan.
Kompleksitas sejarah yang melatarbelakangi pendirian JI serta perkembangannya yang signifikan meluas ke ranah global.
Keterkaitan JI dengan Al-Qaeda, sistem perekrutan anggota, pesantren-pesantren yang terafiliasi, serta era baru JI berlandaskan 42 pertimbangan syar’i yang secara rinci dijabarkan sebagai bentuk keseriusan JI membela NKRI.
Buku ini juga mengulas bagaimana peran negara dalam menghadapi kelompok radikal, termasuk strategi yang telah diterapkan untuk meredam gerakan ekstrem seperti JI.
Kemudian seberapa efektif langkah-langkah yang diambil? Apakah masih ada celah yang memungkinkan kelompok serupa muncul kembali di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan mengajak pembaca untuk merenungkan sejauh mana kebijakan deradikalisasi mampu mengatasi akar permasalahan ekstremisme.
Objektivitas buku ini tercermin dari wawancara dan diskusi langsung dengan para senior dan juga anggota JI.
Dibahas secara sistematis dan rinci sehingga pembaca dapat memahami secara utuh bagaimana sebuah organisasi radikal ini dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Pemahaman keliru terhadap ayat-ayat yang terpotong disalahartikan dan menjadi akar masalah di tubuh JI yang kemudian melahirkan aksi terorisme.
Pembaca muslim yang membaca buku ini dapat mengambil pelajaran, bahwa penting sekali memahami Al-Qur’an dan hadis berdasarkan ilmu.
Belajar pada guru yang benar-benar paham agar tidak gagal paham.
Banyak istilah bahasa Arab, baik sebagai rujukan pemikiran maupun nama struktur dalam organisasi JI, bisa menjadi tantangan bagi pembaca yang tidak familiar dengan terminologi tersebut.
Selain itu. narasi tentang JI hanya berfokus pada pelaku, padahal ada sisi lain yang perlu ditonjolkan, yaitu perspektif para korban dan dampak jangka panjang yang mereka rasakan.
Buku ini belum menyiapkan ruang tersebut.
Sesuai dengan judul buku tersebut, The Untold Story banyak cerita tak terungkap tentang jati diri Jemaah Islamiyah (JI) yang sebenarnya.
Sebelum membaca buku ini, saya seperti kebanyakan orang hanya mengetahui JI sebagai dalang di balik berbagai tragedi bom seperti Bom Bali 1 dan 2, Hotel JW Marriot serta beberapa serangan teror di berbagai wilayah lain di Indonesia.
Buku ini membuka perspektif baru bahwa di balik aksi kekerasan itu, terdapat perpecahan internal dan perjalanan panjang yang tidak banyak diketahui publik.
Tetapi, bagaimana pun tindak kejahatan terorisme patut kita kecam.
Saya merespons informasi dalam buku ini dan meng-highlight bagaimana negara dan aparat keamanan melalui Tim Densus 88 Polri melakukan pendekatan dialog dan pemberdayaan kepada organisasi radikal ini.
Mengenal lebih dalam ideologi JI dari para tokoh-tokoh sentral hingga mampu mendeteksi akar masalah yang tumbuh berkembang di internal JI.
Diterangkan dalam buku ini, DNA JI terbentuk tidak lepas dari konflik politik pertama di Indonesia pasca kemerdekaan, yakni pemberontakan DI/TII (NII).
Menariknya, JI juga memiliki keterkaitan dengan Masyumi, sebuah partai politik yang salah satu pendirinya, Mohammad Natsir, tokoh besar dalam sejarah Islam dan politik Indonesia, yang berperan dalam pembentukan Pancasila dan NKRI
Hal ini tentu membuka sudut pandang baru, bahwa akar ideologi JI tidak hanya dilihat dari hubungannya dengan NII dan Al-Qaeda.
“Nak, dengar, ya. Kita ini dulu—bersama NII—pernah keliru, saya tidak mau mengulangi kekeliruan ini.” (halaman 141)
Membaca penggalan kalimat tersebut kontan membuat saya merasa lega.
Kalimat tersebut merupakan pernyataan ulama atas permintaan saran dari Ustaz Abu Fatih (Ketua Mantiqi 2 sekaligus panglima militer JI pada saat itu) mengenai tawaran Al-Qaeda untuk mengirimkan 6.000 pasukan siap tempur guna mengambil alih negara di tengah krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua orang dalam organisasi bertindak impulsif.
Keputusan Ustaz Abu Fatih untuk mempertimbangkan hal besar ini dengan meminta saran kepada ulama adalah langkah yang tepat.
Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang juga didukung oleh para ulama.
Pada saat itu, Indonesia sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh.
Krisis ekonomi 1997–1998 tidak hanya meruntuhkan perekonomian nasional, tetapi juga memicu gejolak sosial yang berujung pada jatuhnya rezim Orde Baru.
Krisis ini menciptakan keresahan yang mendalam di kalangan masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang merasa kehilangan pegangan dan mencari jawaban dalam ideologi yang lebih radikal.
Ketidakadilan sosial dan ekonomi dapat turut memperkuat militansi jaringan kelompok radikal.
Ketimpangan ekonomi, marjinalisasi kelompok tertentu, serta ketidakmampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat menjadi lahan subur bagi propaganda ekstremisme.
Kelompok seperti JI menawarkan narasi bahwa ketidakadilan yang terjadi adalah akibat dari sistem pemerintahan yang dianggap tidak islami sehingga mereka mendorong solusi dengan menerapkan sistem khilafah.
Dalam konteks global, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia.
Banyak negara dengan sejarah konflik dan krisis ekonomi yang menjadi tempat tumbuhnya ekstremisme, seperti Afghanistan, Suriah, dan Irak.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan politik sangat berperan dalam membentuk radikalisasi.
Namun, apakah krisis ekonomi 1998 benar-benar menjadi pemicu utama munculnya JI, ataukah krisis hanya mempercepat perkembangan mereka yang memang sudah memiliki ideologi dan jaringan yang kuat sejak lama? Buku ini membuka wawasan bahwa JI bukan sekadar produk instan dari Reformasi, tetapi merupakan kelanjutan dari gerakan lama yang telah berevolusi sejak era DI/TII.
Kembali pada hal yang menarik untuk dicermati, yaitu bagaimana strategi deradikalisasi yang diterapkan oleh pemerintah dan Tim Densus 88 Polri dalam membimbing anggota JI kembali ke pangkuan NKRI.
Hal ini menunjukkan bahwa solusi terhadap ekstremisme tidak hanya berupa penindakan, tetapi juga pendekatan dialog dan pemberdayaan.
Membaca kembali bab-bab awal tentang berdirinya JI—DNA JI—kita dapat menakar bahwa solusi deradikalisasi melalui dialog memang sangat mungkin dilakukan.
Dilanjutkan bab pertengahan yang membahas perjalanan panjang perubahan JI.
Mulai dari kesadaran bahwa banyak konsep warisan NII yang perlu ditinggalkan hingga pedalaman ilmu fikih yang membuat pemahaman lebih luas dan terhindar dari pemikiran yang sempit dan ekstrem.
Proses kesadaran dan perubahan ideologi JI melewati kajian ilmu yang cukup panjang.
Dan hal tersebut adalah bukti bahwa pembubaran JI pada akhirnya adalah buah dari kesadaran bukan tekanan dari aparat.
Saya sangat bersyukur atas kerja keras dan kerja cerdas Tim Densus 88 Polri.
Tidak berlebihan jika solusi dialog ini saya katakan sebagai wujud kerja cerdas sehingga transformasi ideologi yang kuat dapat terjadi.
Dialog bukanlah strategi lunak tetapi strategi yang lebih berkelanjutan karena menyasar ke akar masalah baik dari segi ideologi, ekonomi, maupun sosial.
Jika dibanding pendekatan militer yang kerap memperburuk kondisi, melahirkan kekerasan baru karena menciptakan rasa ketidakadilan dan perlawanan dari kelompok yang merasa terpinggirkan.
Solusi ini dapat dikatakan sebuah langkah maju yang adaptif dan solutif.
“Masa lalu tidak bisa dihapus, tetapi bisa menjadi fondasi untuk membangun masa depan yang lebih bagus; JI bukan lagi ancaman, melainkan bagian dari solusi untuk bangsa dan negeri ini.” (halaman 293)
Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menangani ideologi radikal harus selaras dengan upaya membangun pendekatan yang lebih humanis dan berkelanjutan dalam menjaga stabilitas nasional.
Pekerjaan ini diharapkan dapat terus dilakukan.
Negara harus selalu aktif mencegah radikalisme sejak dini. Mempelajari dampak sosial atas kebijakan-kebijakan pemerintah dan mengantisipasi lahirnya pemberontakan yang menyimpang dari Pancasila dan NKRI.
Secara keseluruhan, buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah bukan sekadar dokumentasi sejarah, tetapi juga cermin bagi bangsa dalam memahami radikalisme dan cara terbaik menanganinya.
Buku ini membuka sudut pandang baru bahwa dialog dan pendekatan humanis bisa menjadi kunci dalam meredam ekstremisme.
Sebuah bacaan yang penting bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang isu terorisme di Indonesia.
Dapatkan bukunya sekarang juga di Gramedia.com.