Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membaca Karya Sastra Tak Lagi Sama

Kompas.com - 28/01/2022, 12:00 WIB
Sumber Foto: Dok. Gramedia Pustaka Utama
Rujukan artikel ini:
Sosiologi Sastra
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Penulis Teguh Afandi
|
Editor Ratih Widiastuty

Awal Tahun 2022, mendadak jagat Twitter riuh oleh perbedaan pendapat, kalau tidak boleh disebut sebagai perang, perihal apakah fiksi mewakili realitas atau sekadar imaginasi liar penulis.

Dua yang berbeda pendapat ini menyatakan keberatan masing-masing, persis orang yang sedang beragumen di sebuah sidang.

Dan kebenaran debat jagat maya selalu tidak bulat, kembali ke pengamin masing-masing.

Namun, ada dua buku yang setidaknya memberikan gambaran cukup terang soal ini.

Hubungan Antara Realisme Dalam Sebuah Karya Nonfiksi

Sosiologi Sastra karya Sapardi Djoko Damono dan Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis buah karya Eka Kurniawan.

Dua buku ini secara genre jelaslah nonfiksi yang mengayakan pembaca ketika menghadapi sebuah karya sastra.

Sapardi Djoko Damono menulis pengantar cara membaca sebuah karya sastra, sekaligus mencurigai keterhubungan dengan banyak hal di luar karya itu sendiri.

Tidak ada karya sastra yang bebas dari ideologi pengarang.

Sedangkan Eka Kurniawan dalam buku itu, dengan mengambil kasus karya-karya dan biografi kehidupan pengarang Pramoedya Ananta Toer, mencoba membedah hubungan realisme sosialis dan karya sastra di Indonesia terutama.

Dan bahasan Eka Kurniawan ini juga secara perlahan menggeser bagaimana kita memandang karya sastra.

…hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Adalah sah apabila kita memasalahkan pengaruh timbal balik antara ketiga unsur tersebut. (Sosiologi Sastra, hal.3)

Sapardi Djoko Damono, dalam Sosiologi Sastra menandaskan demikian.

Melihat karya sastra tidak melulu parsial, menihilkan penulis dan latar sosio-kultural pengarang.

Sebab karya sastra, pengarangnya, bahkan bahasa sebagai mediumnya tumbuh di tengah masyarakat.

Benar bahwa “kehidupan” dalam novel, cerpen, atau puisi adalah rekaan dan imaginasi penulis.

Namun, fakta yang tidak bisa disangkal penulis makhluk sosial bagian dari masyarakat.

Potret yang terbangun dalam karya mereka adalah respon pengarang atas realitas yang terjadi.

Respon masing-masing dengan ragam cara pendekatan ini yang membuat cerita mereka berbeda.

Tidak jarang kita temukan realitas dalam fiksi terasa sangat faktual, sebaliknya kehidupan nyata kadang lebih fiksi dari cerita rekaan.

Maka itu kita hampir mudah tergelincir antara berita dan cerita.

Bukan hanya sebab perbedaannya yang kadang setipis antara huruf b dan c, tetapi juga relasi penulisnya dengan “sumber” yang tidak jatuh dari langit.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Ketika wabah covid meledak.

Penulis berita dan penulis cerita memberi respon yang berbeda.

Penulis berita memiliki kaidah jurnalistik untuk mewartakan wabah, tidak boleh menambah informasi fiktif.

Sebaliknya, penulis cerita justru harus menambahkan imaginasi untuk menceritakan pendekatan realitas akan wabah covid ini.

Misalkan dalam cerpen, “Simuladistopiakoronakra”, karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku Aku Kesepian, Sayang.” “Datanglah, Menjelang Kematian.” (Gramedia Pustaka Utama, 2020).

Penulis sedang memotret gegernya zaman ketika wabah covid meledak.

Tiada bantahan yang dapat kami ajukan, mengingat cerita tentang manusia di Bumi yang tinggal sisa, akibat kepongahannya ketika berlangsung wabah, sudah menjadi pelajaran makhluk-makhluk sejagad raya. (“Aku Kesepian, Sayang.” “Datanglah, Menjelang Kematian.”, hal.268)

Tanpa harus menderet data-data, misalnya, cerpen “Simuladistopiakoronakra” menukik apa yang tidak terpotret angka.

Begitulah sastra dan sastrawan merespon realitas dalam karya mereka.

Namun, ada satu “tuntutan” kalau boleh disebut demikian yang ditanggung oleh penulis.

Ada kepentingan lebih dari sekadar “menyampaikan realitas” dengan pengayaan imaginasi.

Penulis, setidaknya dalam beberapa pilihan sikap, memiliki kesadaran untuk “turba”—turun ke bawah.

Turun ke bawah ini adalah terma Pramoedya Ananta Toer untuk menyampaikan satu tanggung jawab sosial penulis dan karyanya.

Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak.

Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba” atau turun ke bawah. (Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, hal. 10)

Mungkin hal tersebut tampak terlalu ekstrim, terlalu membebani, atau muluk-muluk.

Namun, suara-suara mereka yang realitasnya dipotret dalam karya sastra bisa jadi orang yang tidak pernah membaca karya sastra, jauh dari budaya literasi, tidak pernah memiliki buku.

Bila realitas itu dipotret ala kadarnya, asal mewakili tanpa ada motif perjuangan, maka tidakkah sama penulis dan karya sastra, dengan acara yang memonetasi realitas kemiskinan.

Rekomendasi Karya Sastra Terpopuler

Buku, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, karya Eka Kurniawan ini adalah pemaparan komplet soal sosok Pramoedya dan karya-karyanya.

Juga tamparan bagaimana kita memandang sastrawan dan karyanya.

Dan bagi penulis yang sedang menyusun karya, buku ini dan buku Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, bisa dijadikan terminal istirahat di tengah tenggat penulisan untuk meneliti kembali cara memandang kita terhadap sastra dan karya sastra.

Semua buku ini bisa kamu beli dan dapatkan di Gramedia.com. Selain itu, ada gratis voucher diskon yang bisa kamu gunakan tanpa minimal pembelian. Yuk, borong semua buku di atas dengan lebih hemat! Langsung klik di sini untuk ambil vouchernya.

promo diskon promo diskon

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau