Indonesia terletak di antara daratan Asia dan Australia telah menjadi salah satu titik fokus untuk memahami sejarah manusia purba di Asia Tenggara.
Penemuan-penemuan terbaru di gua Leang Panninge di pulau Sulawesi telah memberikan pemahaman baru pada pola migrasi dan keragaman genetik manusia purba di wilayah ini.
Temuan-temuan dari studi fosil Homo erectus dan fosil genetik Bessé telah menguji asumsi-asumsi sebelumnya dan membuka alternatif kemungkinan lain untuk dieksplorasi.
Tulisan ini akan mengeksplorasi sejarah manusia purba yang menarik di Indonesia dengan mengacu pada penemuan-penemuan beberapa tahun terakhir
Homo erectus merupakan spesies manusia purba asal dari Afrika sekitar 1,9 juta tahun lalu yang memainkan peran penting dalam sejarah manusia purba di Indonesia.
Manusia purba dengan ukuran otak yang relatif besar ini bermigrasi keluar dari Afrika dan akhirnya mencapai Jawa melalui jembatan darat sekitar 1,6 juta tahun yang lalu.
Mereka berkembang pesat di pulau ini selama 1,5 juta tahun, dan terakhir kali muncul sekitar 100.000 tahun yang lalu, jauh setelah kepunahan mereka di tempat lain di dunia.
Penemuan fosil Homo erectus di Jawa, khususnya di situs Ngandong, telah memberikan wawasan yang berharga tentang durasi kependudukan dan adaptasi mereka terhadap perubahan lingkungan.
Temuan ini mempertanyakan pemahaman kita tentang kemampuan adaptasi spesies manusia purba karena Homo erectus mendiami Asia Tenggara selama tiga kali lebih lama daripada spesies kita, Homo sapiens.
Penemuan DNA purba pada sisa-sisa jasad seorang perempuan berusia 7.200 tahun bernama Bessé di gua Leang Panninge telah memperbaharui pemahaman kita tentang pola migrasi manusia purba di Indonesia.
DNA Bessé yang masih utuh diekstraksi dari tulang temporalnya menjadi temuan langka di daerah tropis yang lembab.
Hal ini dikarenakan pengawetan DNA yang sangat tidak mudah.
Pengurutan genetik DNA Bessé mengungkap sejarah leluhurnya yang unik, berbeda dengan manusia purba lainnya yang diketahui dari masa lampau maupun populasi masa kini.
Sekitar setengah dari susunan genetiknya memiliki kemiripan dengan penduduk asli Australia, Papua Nugini, dan individu dari kepulauan Pasifik Barat.
Hal ini menunjukkan bahwa nenek moyangnya merupakan bagian dari gelombang awal manusia yang bergerak dari daratan Asia melalui pulau-pulau Wallacea menuju daratan yang dikenal sebagai Sahul, meliputi Australia dan Papua Nugini selama zaman es.
DNA Bessé juga menunjukkan hubungan purba dengan Asia Timur yang mempertanyakan asumsi sebelumnya tentang periode migrasi ke wilayah Wallacea.
Kehadiran nenek moyang Asia dalam pemburu-pengumpul dari ribuan tahun sebelum kedatangan petani neolitikum dari Taiwan mengindikasikan adanya perpindahan populasi lebih awal dari Asia ke wilayah tersebut.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Temuan ini menyoroti kompleksitas dan sifat dinamis dari migrasi manusia purba dan menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengungkap seluk-beluk penyebaran manusia di seluruh Asia Tenggara.
Penemuan-penemuan yang dibahas dalam Price (2021) dan Lu (2021) menjelaskan pencampuran dan warisan genetik spesies manusia purba di Indonesia.
Homo erectus, selama masa pendudukannya yang panjang di Asia Tenggara, kemungkinan besar terpecah menjadi beberapa spesies tambahan, seperti Homo floresiensis di pulau Flores dan Homo luzonensis di Luzon di Filipina.
Manusia purba ini mungkin telah berinteraksi dan kawin silang dengan kelompok lain, termasuk Denisovan, kerabat dekat Neanderthal.
Perkawinan silang antara manusia Denisovan dan manusia modern mungkin terjadi sekitar 30.000 tahun yang lalu, bisa jadi telah memasukkan jejak DNA Homo erectus ke dalam genom manusia modern Asia Tenggara. .
Meskipun bukti lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi peristiwa kawin silang ini, hal ini menggarisbawahi pentingnya Asia Tenggara sebagai wilayah yang kaya akan keanekaragaman genetik dan sebagai tempat untuk mempelajari asal-usul manusia.
Sejarah manusia purba Indonesia adalah fenomena yang menawan dari migrasi, adaptasi, dan pembauran.
Penelitian terhadap fosil Homo erectus di Jawa dan penemuan DNA Bessé yang masih utuh telah mempertanyakan anggapan kita selama ini mengenai garis waktu dan dinamika pergerakan manusia purba.
Pendudukan Asia Tenggara oleh Homo erectus selama tiga kali lebih lama daripada spesies kita sendiri merupakan indikator keberhasilan dan kemampuan adaptasi populasi manusia purba.
Selain itu, fosil genetik Bessé memberikan wawasan tentang gelombang awal migrasi manusia dari daratan Asia ke Paparan Sahul (lempeng landas kontinen benua Australia - Papua), sementara kehadiran nenek moyang manusia purba di Wallacea menantang kronologi migrasi yang sudah ada.
Penemuan-penemuan ini menekankan perlunya penelitian lanjutan di Asia Tenggara yang merupakan sebuah wilayah dengan potensi besar untuk mengungkap sejarah asal-usul manusia yang kompleks.
Dengan menggali lebih dalam sejarah manusia purba di Indonesia, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang keadaan nenek moyang pada waktu itu.
Jalur tempuh perjalanan yang rumit dan warisan genetik yang masih berkaitan dengan populasi masa kini.
Asal mula kehidupan manusia purba memang sangat menarik untuk dipelajari.
Jika ingin mengetahui lebih banyak mengenai sejarah manusia, buku Sapiens Grafis: Kelahiran Umat Manusia terbitan Kepustakaan Populer Gramedia bisa menjadi buku referensi yang tepat untuk dijadikan bacaan.
Buku ini merupakan adaptasi grafis dari salah satu buku sejarah paling terkenal di dunia, Sapiens dalam format komik sehingga lebih mudah untuk disimak.
Melalui buku ini pembaca akan diajak untuk melihat awal zaman sejak prasejarah hingga masa yang akan datang dengan mengupas tuntas bentuk evolusi manusia dari zaman batu hingga memasuki abad ke-21.
Baca dan dapatkan bukunya dengan mudah di Gramedia.com.