Uji Autokorelasi menjadi salah satu langkah yang dilakukan mahasiswa untuk mengolah data saat mengerjakan skripsi menggunakan SPSS.
Penggunaan SPSS untuk mengolah data kuantitatif saat ini menjadi salah satu cara favorit yang dilakukan banyak orang, termasuk mahasiswa.
Lantas apa sebenarnya uji autokorelasi? Bagaimana langkah uji autokorelasi di SPSS?
Melansir laman resmi Universitas Bina Nusantara (Binus), uji autokorelasi merupakan analisis statistik yang dilakukan untuk mengetahui ada kah korelasi variabel yang ada di dalam model tertentu.
Biasanya uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya).
Apabila di data tersebut mengalami korelasi, maka bisa disebut problem autokorelasi.
Biasanya permasalahan ini muncul karena kesalahan pengganggu (residual) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya.
Ghozali melalui buku Aplikasi Analisis Multivariete Dengan Program IBM SPSS 23, autokorelasi bisa muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu yang berkaitan satu sama lainnya.
Permasalahan ini muncul karena residual tidak bebas pada satu observasi ke observasi lainnya.
Agar menghindari masalah yang sama, pengguna disarankan menggunakan uji Lagrange Multiplier apabila data observasi di atas 100 data.
Uji Autokorelasi hanya bisa dilakukan untuk data time series seperti laporan keuangan.
Sementara untuk data cross section (data yang diperoleh melalui kuesioner atau survei) maka tidak perlu melakukan uji autokorelasi.
Terdapat empat jenis uji autokorelasi yang bisa kamu lakukan, berikut daftarnya:
Untuk melakukan uji Dublin Watson, pengguna harus memastikan tidak ada variabel lag antara variabel bebas.
Selain itu, pengguna perlu memastikan terdapat konstanta pada model regresi.
Kriteria pengambilan keputusan di uji ini, yaitu:
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Sementara itu, untuk pengambilan keputusan ada atau tidaknya autokorelasi menggunakan kriteria DW tabel dengan tingkat signifikansi 5%, yakni:
Pengguna wajib menggunakan uji Lagrange Multiplier jika sampel yang digunakan di atas 100 data.
Hal ini lantaran uji lagrange multiplier lebih tepat bila derajat autokorelasi lebih dari satu.
Uji Run test merupakan bagian statistik non-parametik yang bisa mengetahui apakah antar residual terjadi korelasi yang tinggi.
Jika antar residual tidak terdapat hubungan korelasi, maka bisa dikatakan residual adalah random atau acak.
Jenis uji autokolerasi ini dilakukan untuk model regresi bermasalah atau tidak.
Dasar pengambilan keputusan uji ini berdasarkan nilai signifikasi yang dihasilkan.
Jika signifikansi > 0.05 maka model regresi tidak terdapat masalah autokorelasi.
Jika signifikansi < 0.05 maka model regresi masih terdapat masalah autokorelasi.
Berikut langkah uji autokorelasi di SPSS menggunakan Durbin Watson.
Ingin mempelajari lebih lengkap mengenai uji autokorelasi di SPSS dan cara mengolahan datanya? Kamu bisa membaca Buku Mahir Statistik Parametrik karya Singgih Santoso.
Buku ini membahas beragam metode statistik parametrik dengan data yang diolah harus banyak, bertipe interval atau rasio, dan bedistribusi normal.
Data tersebut tidak hanya untuk bidang statistik, namun Singgih menekankan, data hasil analisa juga bisa digunakan untuk ekonomi, manajemen, pertanian, teknik, dan lainnya.
Selain itu, Singgih juga membahas contoh kasus di setiap materi tersebut, sehingga kamu yang masih awam dengan penggunaan SPSS tetap bisa memahaminya tanpa pusing.
Tertarik untuk membacanya agar lebih mengerti cara pengolahan data menggunakan SPSS? Kamu bisa check out buku Mahir Statistik Parametrik di Gramedia.com atau baca versi e-booknya di Gramedia Digital.
Selain itu, ada gratis voucher diskon yang bisa kamu gunakan tanpa minimal pembelian. Yuk, beli buku di atas dengan lebih hemat! Langsung klik di sini untuk ambil vouchernya.