Pandemi datang menyerang, tapi kita masih tenang-tenang, memenuhi linimasa dengan candaan yang bersifat menantang: “tak mungkin virus masuk ke Indonesia, bukankah gaya hidup kita membuat kita kebal virus?”
Namun, ibarat untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, tiba-tiba saja sang virus nyelonong masuk tanpa permisi.
Tergagap-gagap semua orang menyelamatkan diri.
Masuk rumah dan semua kegiatan nyaris terhenti.
Untuk mengisi jenuh, mulailah orang bereksplorasi.
Aneka hobi dadakan mulai bermunculan, mengisi kejenuhan selama terkurung di rumah sendiri: hidroponik, tanaman hias, ikan hias, membuat kue, semua dijajal. Benar, kejenuhan sedikit teratasi.
Dunia pendidikan pun tak kalah tergagap.
Banyak yang tidak siap menghadapi sekolah daring.
Betapa tidak, masalah infrastruktur dan kesiapan mental menjadi isu.
Orangtua yang selama ini menyerahkan masalah pendidikan anak sepenuhnya ke sekolah, kini “dipaksa” menjadi guru untuk mendampingi kegiatan belajar mengajar anak, terutama jika anaknya masih dalam usia prasekolah dan pendidikan dasar.
Mulailah bermunculan cerita di linimasa tentang ibu yang terpaksa harus menyelesaikan tugas anak, sementara anaknya asyik bermain.
Ada pula curhatan sang ibu yang sudah menyerah karena tidak ingin hubungan ibu dan anak rusak gara-gara sekolah daring.
Istilah sekolah daring pun berubah menjadi sekolah darting, alias sekolah (yang membuat) darah tinggi.
Buruknya lagi, setelah hampir dua tahun pandemi bercokol di muka Bumi, belum terlihat tanda-tanda akan menemui titik akhir.
Varian baru bermunculan, membuat orang-orang yang tadinya menunggu dengan sabar mulai kehilangan kewarasan.
Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak mulai tak terelakkan.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Tensi semakin tinggi, tingkat darting tak terbendung lagi.
Tidak hanya orangtua yang stres, anak pun mengalami hal yang sama.
Mereka kehilangan tempat untuk bersosialisasi dengan sebayanya, tidak bisa lagi melakukan kegiatan fisik dengan bebas.
Padahal, semua itu sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Secara mental dan fisik anak-anak sudah terganggu.
Apa jadinya jika orangtua sebagai orang dewasa yang selama ini menjadi panutan anak mulai kehilangan arah?
Pandemi akhirnya memaksa orangtua untuk kembali mengambil porsi besarnya dalam peran mendidik anak.
Tugas guru hanyalah mengajar sekaligus mendidik anak dalam beberapa jam kegiatan belajar mengajar, sementara orangtua sudah seharusnya mendidik anak setiap hari!
Mendidik anak bukan perkara mudah, salah-salah bisa membuat orangtua darting.
Orangtua tentunya membutuhkan bekal pengetahuan yang cukup.
Semakin banyak gaya pola pengasuhan yang diketahui orangtua, semakin banyak pula yang bisa dipilih untuk diterapkan.
Satu hal yang perlu kita ingat, pola asuh bukan lagi perkara benar atau salah, melainkan efektif atau tidak efektif untuk diterapkan dalam keluarga kita.
Yuk, kita maknai pandemi ini sebagai titik balik kita untuk berbenah.
Mulai hidup dengan cara baru, cara yang lebih baik.
Walau daring, tinggalkan darting.
Mari kita menjadi orangtua pintar yang menjadi impian anak-anak kita.
Oleh karena itu, Orang tua harus pintar-pintar menjaga kesehatan mental agar proses daring bisa optimal, anak pun masih bisa belajar di rumah tanpa stress dan bahagia. Kiumpulan Buku Edukasi dan Buku Parenting dari Gramedia.com bisa menjadi pilihan untuk menemani sekolah daring selama pandemi.