Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Pengertian Logical Fallacy dan Jenis-Jenisnya, Sering Dijumpai di Media Sosial

Kompas.com - 25/11/2023, 18:00 WIB
 Logical Fallacy Sumber Gambar: Freepik.com Logical Fallacy
Rujukan artikel ini:
How To Build Successful Habits…
Pengarang: Dzul Fahmi
Penulis Okky Olivia
|
Editor Ratih Widiastuty

Tak bisa dipungkiri kemajuan zaman sangat memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakatnya.

Tak jarang, kita banyak menjumpai adanya kekeliruan dalam penggunaan teknologi, khususnya teknologi digital atau media sosial.

Kemudahan mengakses internet dan media sosial sebenarnya sangat memudahkan aktivitas masyarakat, tapi di sisi lain, ada banyak sekali masalah yang ditimbulkan para penggunanya.

Pernahkah kamu mendengar istilah logical fallacy?

Singkatnya, logical fallacy sering kali dianggap sebagai kesalahan dalam penalaran.

Demi menghindari kejadian logical fallacy, terutama di hadapan banyak orang, kamu bisa simak pengertian dan jenis-jenis logical fallacy berikut ini.

Apa itu Logical Fallacy?

Dalam Bahasa Indonesia, logical fallacy diartikan sebagai kekeliruan logika, atau sering juga disebut sesat pikir.

Istilah fallacy diambil dari Bahasa Latin, yaitu fallacia yang berarti deception.

Dalam Bahasa Indonesia, deception artinya penipuan atau tipu muslihat.

Dengan kata lain, logical fallacy adalah sebuah kesalahan dalam penalaran.

Hal ini bisa terjadi saat seseorang salah dalam memahami argumen dari orang lain.

Sementara menurut American Psychological Association mendefinisikan, fallacy adalah kesalahan dalam penalaran yang mengarah pada suatu kesimpulan yang terlihat benar, padahal sebenarnya tidak benar.

Saat ini, media sosial menjadi salah satu tempat paling mudah untuk menemukan contoh nyata dari logical fallacy.

Di Indonesia, kesalahan penalaran lebih sering berkaitan dengan isu-isu politik atau isu kesehatan, misalnya pada saat kasus Covid-19 yang terjadi beberapa tahun lalu.

Saat mendapatkan sebuah informasi di media sosial, masyarakat akan langsung menyebarkannya secara luas, tanpa mencari tahu kebenaran informasi tersebut.

Ditambah lagi, mereka biasanya akan membujuk orang lain untuk meyakini dan menyetujui informasi tersebut, tanpa tahu fakta yang sebenarnya.

Hal inilah yang membuat masyarakat saat ini mudah diadu domba, bahkan tak jarang mereka saling melemparkan ujaran kebencian satu sama lain.

Jenis-Jenis Logical Fallacy

Setelah memahami definisi logical fallacy, kita tentu sepakat kalau sikap kritis perlu ditumbuhkan supaya kita terhindar dari kesalahan tersebut.

Ada lebih dari 20 jenis logical fallacy, tapi hanya ada beberapa jenis yang bisa dengan mudah kita temui di kehidupan sehari-hari.

Berikut adalah 5 jenis logical fallacy yang umum dijumpai di masyarakat.

1. Ad Hominem

Ad Hominem adalah jenis kesalahan penalaran yang menyerang sebuah kebenaran dengan menunjukkan sisi negatif lawan bicara yang sebenarnya tidak berkaitan dengan argumen yang sedang dibahas.

Contoh:

“Saya rasa kita tidak boleh langsung percaya pada vaksin Z karena perusahaannya sedang terlibat masalah perizinan bangunan.”

Ini adalah contoh Ad Hominem karena fokusnya bukan pada keamanan vaksin, melainkan pada masalah yang melibatkan perusahaan pembuat vaksin tersebut.

Meskipun masih terlihat relevan, pembahasan soal perizinan bangunan ini akan mengalihkan perhatian lawan bicara, padahal vaksin tersebut telah melewati uji coba klinis dan dianggap aman untuk digunakan.

2. Straw Man Argument

Sedikit berbeda dari Ad Hominem, Straw Man Argument adalah penggambaran argumen yang salah dan bertujuan untuk menyerang lawan bicara.

Orang-orang yang melakukan Straw Man Argument akan dengan sengaja menciptakan argumen baru, berdasarkan argumen yang diucapkan lawan bicara.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Contoh:

“Pembangunan sarana infrastruktur yang berlebihan bisa merusak alam dan hutan di negara kita? Jadi, kamu menentang kebijakan pemerintah yang ingin membangun infrastruktur di desa-desa terpencil?”

Padahal, lawan bicara hanya menyatakan kalau pembangunan infrastruktur bisa merusak alam jika dilakukan secara berlebihan.

Fokus utamanya ada di kata ‘berlebihan’, bukan berarti dia tidak menyukai kebijakan yang dijalankan pemerintahan saat ini.

3. Slippery Slope Argument

Slippery Slope Argument merupakan kesalahan berpikir yang berhubungan dengan sebab akibat.

Contoh:

“Kalau kamu membantu seseorang yang berada dalam kesulitan, dia juga akan membantu kamu di masa depan.”

Argumen di atas mungkin terasa benar, padahal itu termasuk jenis sesat pikir yang menghubungkan situasi saat ini, dengan situasi di masa depan yang belum bisa dibuktikan kebenarannya.

4. False Dichotomy

Dalam sebuah konflik, mengambil jalan tengah sering dianggap sebagai jalan terbaik, supaya kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

Hampir sama seperti jenis sesat pikir yang satu ini, False Dichotomy biasanya hanya akan menghadirkan 2 pilihan dari banyaknya perspektif yang ada dalam suatu pembahasan.

Misalnya:

“Kalau vaksin A tidak bisa mencegah penyebaran virus Covid-19, mengapa kita harus menjalankan vaksinasi secara rutin?”

Beberapa tahun lalu, kamu pasti sering mendengar percakapan tersebut, bukan?

Nah, pertanyaan itu termasuk contoh False Dichotomy karena hanya mengasumsikan 2 pilihan, yakni keberadaan vaksin yang ampuh atau tidak ampuh.

Padahal di sisi lain, penggunaan vaksin juga memiliki keuntungan, meski tidak bisa mencegah penularannya, vaksin bisa membantu mengurangi keparahan penyakit seseorang.

5. Anecdotal Evidence

Saat berada dalam sebuah percakapan, kamu akan menemukan banyak sekali contoh Anecdotal Evidence.

Contoh:

“Saya terbiasa minum suplemen B di malam hari yang ternyata membuat saya kesulitan tidur. Saya akan memberikan review di media sosial, supaya tidak ada orang yang membeli produk tersebut.”

Meskipun terlihat baik, tindakan itu sebenarnya kurang tepat, sebab masih ada faktor lain yang bisa membuat seseorang sulit untuk tidur, misalnya minum kopi atau terganggu melihat kondisi kamar yang berantakan.

Dengan banyaknya ujaran kebencian yang muncul di media sosial, masyarakat seharusnya sadar kalau itu berkaitan erat dengan kesehatan pikiran.

Seseorang dengan pikiran yang sehat tidak akan peduli pada hal-hal negatif yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Lantas, bagaimana caranya agar kita memiliki pemikiran yang sehat dan positif?

Melalui buku How To Build Successful Habits: 10 Cara Paling Serius, kamu akan belajar cara mengatur dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

Semua manusia memiliki waktu 24 jam dalam satu hari.

Tapi sayangnya, tidak semua orang mampu memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan kegiatan yang positif.

Buku ini memberikan 10 gambaran kebiasaan yang harus kamu lakukan, jika ingin mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.

Tak hanya fokus membahas kebiasaan baik, buku ini juga menyediakan berbagai tips untuk mengembangkan passion yang bisa kamu terapkan mulai dari sekarang.

Jadi, tunggu apa lagi? Segera pesan bukunya melalui Gramedia.com.

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com