Saat ini dunia pendidikan global sedang banyak membicarakan tentang sekolah masa depan, yang tiap orang mempunyai pikiran berbeda terhadap arti, atau bagaimana sistem pendidikan di masa depan itu sendiri.
Beberapa memikirkan bahwa sekolah masa depan itu lingkungan pembelajarannya dipacu oleh perkembangan teknologi.
Ada juga yang memikirkan tentang bagaimana mengintegrasikan sekolah dalam masyarakat, dimana mampu mengkombinasikan ilmu pembelajaran, berguna untuk pekerjaan, dan waktu bersenang-senang atau hiburan.
Terakhir, berpandangan bahwa belajar di masa depan diserahkan pada pilihan masing-masing orang, tujuan yang sesuai dengan motivasi, dan pembelajaran terus-menerus dari masing-masing pribadi.
Tapi pertanyaannya, bagaimana menciptakan sekolah atau pendidikan masa depan ini di Indonesia, dan bagaimana seharusnya kita mengajari generasi muda dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dunia masa depan yang berubah cepat?
Dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan contoh sekolah masa depan, yang mengatakan bahwa sekolah tersebut akan ”menonjolkan atau mengoptimalkan infrastruktur, sumber daya manusia, pedagogi pembelajaran, dan kesejahteraan siswa”.
Satu sekolah di Indonesia, Green School, menjadi contoh dari beberapa sekolah masa depan yang mengacu sumber dari World Economic Forum ini, namun kita tahu bahwa keadaan sekolah di Indonesia umumnya tidak begitu.
Sekolah yang mengadopsi kebijakan masa depan tersebut biasanya swasta dan berbiaya mahal bagi masyarakat kebanyakan, yang kemungkinan, tidak semua siswa usia sekolah di Indonesia dapat mengakses sekolah ideal tersebut.
Sistem yang ingin Kemendikbud capai adalah Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar dengan mengadopsi:
Sebetulnya, roadmap Kemendikbud tersebut sudah bagus dan sudah memetakan bagaimana posisi pendidikan Indonesia saat ini, seperti apa kekurangannya, apa yang akan dicapai, dan bagaimana cara mencapainya.
Sayang, dokumen Peta Jalan Pendidikan tersebut tidak memuat target-target dan indikator-indikator untuk mencapai tujuan, padahal aspek tersebut begitu penting dalam dokumen peta jalan.
Menariknya, data hasil tes PISA yang dilakukan oleh siswa-siswi Indonesia didapatkan dari data lembaga penyelenggara saja (OECD), dan tidak dilengkapi oleh data dalam negeri.
Data seperti berapa jumlah sekolah yang mengikuti tes, berapa jumlah siswa yang berpartisipasi, dari wilayah mana di Indonesia, apakah di perkotaan atau pedesaan, berapa komposisi wilayah Jawa dan di luar Pulau Jawa, itu tidak terungkap, dan padahal data tersebut seharusnya diketahui oleh pihak Kemendikbud.
Sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia sudah menekankan kolaborasi dalam pendidikannya, padahal banyak negara menekankan nilai kompetisi.
Dalam kompetisi, seperti yang ditunjukkan oleh kebijakan Indonesia di atas, asesmen mengacu kepada Ujian Nasional dan tes PISA, yang berarti siswa-siswi Indonesia hanya mempersiapkan ketiga fondasi kognitif dasar dalam pendidikannya yaitu, literasi, matematika, dan sains.
Apabila hanya bidang ini saja, bagaimana nasib pelajaran olahraga, memasak, musik, dan kerajinan tangan?
Pendidikan Finlandia tidak mengenal ujian nasional dan satu-satunya ujian nasional yang ada adalah Ujian Matrikulasi.
Ini adalah ujian di akhir pendidikan sekolah menengah seperti SMA, di saat siswa-siswi sudah dewasa untuk berkompetisi, dan dilakukan hanya pada saat siswa siap melaksanakan ujian, serta tes dapat diulang.
Siswa-siswi di sekolah dasar termasuk SMP, mendapatkan asesmen dari guru kelas atau guru mata pelajaran untuk semua mata pelajaran.
Dari pelaksanaan itu semua, hasilnya kita tahu bahwa Finlandia memiliki skor yang tinggi dalam tes PISA di semua bidang pelajaran sejak tahun 2000.
Menurut laporan organisasi HundrED, salah satu NGO pendidikan berpengaruh di Finlandia, teknologi dan aplikasi online sebenarnya hanya ”kendaraan” (vessels) dalam belajar.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Menurut Leponiemi (2020), yang penting dalam pendidikan adalah praktik pedagogi dalam suatu negara sehingga siswa-siswi belajar sesuai karakternya sendiri.
Sekolah dasar yang menerima seluruh siswa terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosial.
Guru-guru di Finlandia wajib memiliki pendidikan pasca sarjana atau setingkat master, yang artinya guru-guru paham akan penelitian, sudah menulis skripsi dan tesis, dan mempunyai cara berpikir kritis.
Sekolah-sekolah di Finlandia memberikan makan siang gratis, menyediakan tenaga kesehatan seperti dokter, suster, dan psikolog, serta adanya pemeriksaan kesehatan rutin. Ini memerlukan kolaborasi dengan pemerintah daerah setempat.
Kepala sekolah haruslah guru dan mampu mengajar di sekolah, karena moto yang dianut yaitu “pemimpin adalah guru dan guru adalah pemimpin pedagogi”.
Asosiasi, klub, dan organisasi dalam aktivitas olahraga, seni termasuk musik, dan budaya, memberikan pengalaman berinteraksi atau berkomunikasi, dan kreativitas yang berkontribusi bagi pendidikan para siswa.
Dikutip dari Sahlberg (2017), sekitar 90% anak-anak muda di Finlandia memiliki hobi di luar sekolah, juga fasilitas perpustakaan wilayah dan daerahnya pun mempunyai koleksi yang bermutu dan aksesnya gratis.
Tentunya kita tidak mudah meniru mentah-mentah kebijakan Finlandia, yang terpenting, Indonesia perlu menginvestasikan pendidikan dan memastikan berada di jalan yang benar, demi mencapai sekolah masa depan yang terbaik.
Dalam jangka pendek, berdasarkan praktik pedagogi di Finlandia, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Dibanding fokus untuk ujian tes kompetensi guru, para pengajar hendaknya mendapatkan pendidikan pedagogi modern, dan jika bisa yang setingkat master.
Dengan guru yang berkualitas, guru lebih percaya diri mengenalkan pemikiran kritis dan mengembangkan kolaborasi dan kreativitas anak didiknya.
Pemikiran kritis tidak bisa diajarkan melalui buku, namun dari kebiasaan-kebiasaan yang dipupuk sejak dini.
Jurnalis Charles Duhigg dalam bukunya The Power of Habit (2013), sudah menjelaskan dasyatnya kebiasaan yang dipupuk sejak dini dan dibiasakan berjalan dalam waktu lama.
Dengan fokus pada proses pembelajaran siswa, mereka akan percaya diri melakukan penilaian yang sesuai dengan karakter dirinya sendiri.
Belajar haruslah menjadi kegiatan yang menyenangkan, apabila kolaborasi dan pemikiran kritis baru dikenalkan di universitas, siswa tidak akan terbiasa.
Hendaknya akses untuk buku-buku bacaan bermutu dan perpustakaan yang modern perlu dimulai, Balai Pustaka menggalakan kembali mencari penulis-penulis muda, penerjemah buku-buku internasional, dan perpustakaan harus melengkapi koleksinya dengan buku-buku yang berkualitas.
Yuval Noah Harari mengatakan pada bukunya, 21 Lessons for the 21st Century (2018), bahwa sekolah masa depan harus mengadopsi 4-C yaitu, critical thinking, communication, collaboration, and creativity.
Intinya, sekolah tidak menonjolkan keterampilan teknis karena nantinya akan ada komputer dan aplikasi teknologi yang akan melakukannya untuk kita, namun lebih menekankan pada keterampilan menghadapi perubahan hidup dengan banyaknya informasi, selalu terbuka untuk terus mau belajar, dan menjaga keseimbangan mental dalam situasi yang tidak menentu.
Untuk Indonesia, mengadopsi sekolah masa depan dalam situasi normal saja mungkin terasa sulit, apalagi ditambah situasi pandemi seperti ini.
Tapi, diharapkan Indonesia bisa mulai memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak penerus bangsa, demi tercapainya pendidikan yang berkualitas bagi semua masyarakat.
Jika Anda seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, dan masih penasaran dengan sistem pendidikan di Finlandia, bisa baca lebih lanjut dalam buku Sistem Pendidikan Finlandia, yang ditulis oleh Ratih D. Adiputri, seorang peneliti asal Indonesia, dan juga seorang dosen yang mengajar di Universitas Jyvaskyla, Finlandia.