Gerbong yang saya naiki begitu sesak penuh dengan manusia yang saling berimpitan sambil mencari celah untuk bisa berdiri dengan nyaman. Sudah larut malam dan saya masih berada di Stasiun Palmerah menuju Stasiun Sudimara. Sambil berjuang menahan sesak, pandangan saya berhenti pada wanita-wanita yang terjepit di tengah kerumunan penumpang sembari menatap layar ponselnya.
Penampilan mereka sepertinya pekerja kantoran, dengan tas yang melingkar di bahu kiri dan kanan. Jika saya pulang sekitar pukul 16.00 - 19.00 WIB, pemandangan yang saya dapati adalah wanita berpenamplan rapi khas ‘Mbak-Mbak SCBD’ alias pekerja kantoran (Meskipun belum tentu kantornya di SCBD).
Raut letih tak mengurangi semangat mereka untuk mencari nafkah. Terkadang saya berpikir, mereka bekerja hingga selarut ini, apakah sampai rumah harus mengerjakan pekerjaan domestik?. Jika mereka adalah seorang istri dan juga seorang ibu, pekerjaan belum usai begitu mereka tiba di rumah. Mereka harus mengurus suami dan anak-anaknya, bahkan harus merapikan rumah atau menyiapkan bekal untuk esok hari. Luar biasa!
Dari sebuah percakapan saya beberapa minggu lalu dengan wanita 39 tahun, sebut saja Mbak Mawar yang baru saja bekerja sebagai freelancer di sebuah agensi di Jakarta. Ia menceritakan keluh kesahnya saat memulai karir di usia 39 tahun, setelah hiatus sekian lama karena fokus mengurus anak.
“Aku sebenernya galau harus kerja lagi, karena belum tega ninggalin anak. Tapi semenjak suami mutusin resign dari kantor, kami jadi ga ada penghasilan. Kami juga udah ga sanggup bayar ART”, ucapnya lirih.
“Aku sering ngerasa bersalah kalau harus ketemu klien, aku harus ninggalin kedua anakku di rumah tanpa pengawasan. Belum lagi mereka jadi sering main hp, aku jadi ga bisa mantau mereka belajar atau enggak”.
“Jujur, aku sering nangis kalau pulang ke rumah malem-malem, liat cucian segunung, piring kotor ga ada yang nyuci, anak minta tolong kerjain peer, sampe kamar mandi udah berhari-hari ga disikat. Pulang kerja aku nyikat kamar mandi sampe nangis”.
“Suamiku pengen aku jadi ada kegiatan selain jadi IRT. Dia suka liat aku lebih berdaya. Bukannya aku ga mau, tapi kerjaan rumah aja jadinya gak selesai-selesai. Aku minta tolong dia buat bantu, tapi ya gitu deh”.
Aku terdiam mendengar ceritanya. Bukan suatu cerita baru bagi saya tentang isu multiperan ini. Saat istri ikut mencari nafkah untuk membantu perekonomian, namun emosinya tergerus karena raganya yang juga lelah. Alih-alih perekonomian menjadi pulih, jika suami tidak ikut memberikan andil untuk membantu pekerjaan rumah, sang istri harus bekerja bak sapi perah.
Sama halnya dengan Hanum, wanita berusia 40 tahun, bekerja sebagai Project Manager di sebuah perusahaan BUMN yang saya temui hari itu. Ia merupakan ibu tunggal yang berjuang selama 5 tahun untuk mengurus 3 anaknya.
“Aku single mom sudah 5 tahun, dan aku sudah terbiasa pulang malem gara-gara harus meeting sama klien. Awalnya sedih banget harus jadi jadi tulang punggung untuk menafkahi anak dan orang tua”.
“Alhamdulillah, setelah aku berdamai dan ngurangin ketakutan soal rejeki, aku jadi lebih semangat untuk kerja. Awalnya takut banget, mbak. Aku takut ga bisa sekolahin anak-anakku. Tapi qodarullah, Allah kasih terus rejeki yang harus dijemput, meskipun caranya ya kaya gini. Aku harus kerja kadang sampai malem, sampe jarang punya quality time sama anak di rumah”.
“Aku juga usaha di rumah, jual makanan biar bisa nambah-nambah tabungan. Kalo ditanya cape sih, ya cape banget ga ada yang bantu. Jangankan bantu, kadang mau curhat aja saya malu, ga semua orang bisa relate dengan nasib yang saya alami, kan”, ujarnya.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Cerita Mbak Hanum membuka kenangan akan sosok wanita hebat yang saya kenal. Ibu tunggal hebat yang tak pernah mengeluh akan deritanya, karena tujuannya hanya melihat anaknya sukses dan bahagia.
Sosok itu adalah ibu saya, wanita yang seringkali memendam luka dibalik senyum tulusnya. Beliau mengajarkan saya untuk tidak merepotkan orang lain, harus berani berkata tidak, dan mengurus diri sendiri karena sejatinya kita tidak bisa terus meminta pertolongan orang lain.
Dibesarkan oleh wanita hebat ternyata menguntungkan saya, rasanya sudah terbiasa hidup dalam pusaran badai, sehingga tidak akan terusik dengan kehadiran gerimis. Kerja keras, resiliensi, dan integritas seakan menjadi nilai yang harus terpatri agar tumbuh menjadi wanita mandiri.
Pikiran saya jadi berkelana mendengar cerita Mbak Hanum tadi. Ada rasa ingin memeluk dan berkata “Kamu hebat, Mbak!”.
Tidak ada raut kesedihan di wajahnya, mungkin ia sudah terbiasa memikul semuanya sendiri.
Saya berusaha menahan haru di pelupuk mata, jangan sampai air mata ini menetes di depan pejuang wanita yang tak ingin dikasihani. Walaupun saya yakin, fitrahnya wanita adalah ingin dilindungi, dicintai, dan didengarkan segala keluh kesahnya.
Apakah ini bentuk feminisme? Entahlah. Yang saya ketahui, wanita-wanita ini hanya berjuang untuk melanjutkan hidup demi orang-orang yang mereka cintai, walau hati kecilnya kerap menjerit jika tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat. Belum lagi harus bergulat dengan hormon estrogen setiap bulan. Alhasil mood swing sudah menjadi hal lumrah bagi kaum wanita saat datang bulan.
“Stasiun berikutnya, Sudimara”. Seru pengeras suara yang menggema di gerbong kereta.
Ah, itu rupanya stasiun saya. Saya pamit dengan Mbak Hanum yang masih duduk di kursinya. Ia tersenyum melepas saya pergi, semoga hati kecilnya merasa lega telah berbincang dengan wanita random seperti saya sepanjang dalam kereta. Cerita dari Mbak Mawar dan Mbak Hanum sudah mewakili betapa kerasnya perjuangan seorang wanita yang bertugas multiperan.
Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tak pantang menyerah.
Mencari nafkah bukan tugasmu, namun kau ikhlas menjalani peran ini tanpa ragu. Peluk erat untuk para ibu yang menjadi tulang punggung. Semoga lelahmu menjadi lillah, sejatinya Tuhan akan membalas semua keringat dan tangismu suatu saat.
Jangan lupa untuk memberikan kado terbaik untuk ibu hanya di Gramedia.com
Selamat hari ibu, semua wanita hebat!