Home Body (2021) adalah karya ketiga Rupi Kaur yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh POP (imprint Kepustakaan Populer Gramedia).
Karya ini menyusul dua karya Rupi yang lebih dahulu diterbitkan, yakni Milk and Honey: Susu dan Madu (2018) dan The Sun and Her Flowers: Matahari dan Bunga-Bunganya (2019).
Rupi dikenal sebagai salah satu penyair yang berhasil memulai kiprahnya melalui medium baru, yaitu media sosial.
Baca juga: Ciri-ciri Puisi
Karya-karyanya dan beberapa penyair dengan kecenderungan serupa lalu dikenal sebagai instapoet atau puisi yang bisa termuat utuh dalam satu unggahan gambar di Instagram.
Keterbatasan ruang di Instagram memaksa puisi-puisi yang tampil mesti pendek dan padat.
Misalnya, puisi yang diunggah Rupi pada 20 Juli 2021 lalu.
it’s impossible/ for one person to/ fill you up/ in all the ways/ you need to be filled/ your partner/ can’t be your everything.
Puisi itu tampil sebagai unggahan gambar di Instagram, dengan latar putih polos dan ilustrasi sederhana, sebuah line art tanaman mungil yang sedang disiram.
Ruang terbatas yang hanya memungkinkan puisi pendek itu hadir lantas menuntut puisi lebih lugas dan tegas.
Itulah kecenderungan gaya yang kemudian terasa dalam puisi-puisi Rupi.
Ia seakan-akan tidak punya waktu untuk meliuk-liuk dengan metafora rumit, memainkan diksi-diksi yang beterbangan seperti burung, dan memilih memastikan saja puisinya cukup efektif dan terpahami oleh pembaca.
Begitulah Rupi dan kekhasannya. Kekhasan Rupi terdokumentasikan lewat Milk and Honey dan The Sun and Her Flowers, dua karya yang secara estetika menunjukkan bagaimana puisi khas dia.
Lantas, apa yang baru atau berbeda pada Home Body dibandingkan dengan kedua pendahulunya?
Ingar-bingar ketenaran yang menyusul terbitnya karya-karya awal Rupi ternyata membawa kecemasan dan bahkan depresi dalam hidupnya.
Rupi merasa tidak siap dan mungkin memang tidak ada orang yang benar-benar siap menghadapi ledakan tiba-tiba. “Kecemasan menyergap saya dengan brutal pada 2015, saya ingat betul momen itu,” kata Rupi dalam wawancaranya dengan Tom Power di Q on CBC.
Media sosial memang menjadi rumah bagi Rupi dan karya-karyanya, tetapi tidak serta-merta menjadi rumah yang nyaman, yang memastikan penghuninya bisa tertidur tenang, tidak terganggu suara-suara bising, dan tidak perlu mencemaskan hantu-hantu gentayangan.
Media sosial mengenalkan Rupi kepada dunia, dan dunia yang dikenalinya sungguh kejam.
Home Body tercipta dalam situasi itu, kemudian menjadi karya yang Rupi sebut “love letter to the self”, surat cinta bagi diri.
Dari menulis puisi-puisi dalam Home Body, Rupi menemukan suaranya kembali.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Rupi membuka Home Body dengan sebuah pernyataan, "setelah merasa terputus sekian lama/ kepala dan badanku akhirnya/ kembali bersama."
Kecemasan dan depresi membuat kepala seakan-akan terpisah dari tubuh kita.
Sementara kepala menahan begitu banyak beban, tubuh terdampak, tidak berdaya untuk menjalani berbagai kegiatan dengan baik.
Home Body disusun oleh Rupi dengan format serupa buku-buku sebelumnya, yakni setiap puisi tampil tanpa judul dan terhimpun dalam beberapa bagian.
Dalam buku ini, bagian-bagian itu dijuduli “Kepala”, “Hati”, “Rehat”, dan “Sadar”.
Penjudulan bagian-bagian ini tampak runtut dan mengisyaratkan fase-fase perjalanan menemukan diri.
Pada dasarnya kita menghadapi segala kecemasan, gangguan dari dunia luar, dan sebagainya, pertama kali dengan kepala.
Kita memikirkannya mengapa begini, mengapa begitu.
Kita terus-menerus dipaksa berpikir tanpa henti, yang ternyata toh tidak membawa kita ke mana-mana kecuali ke kondisi yang digambarkan Rupi dengan lugas lewat puisi terdepan di bagian “Kepala”, aku berada di ruang tergelap hidupku.
Pintu keluar dari “ruang gelap” itu adalah kesadaran bahwa emosi kita valid. Itulah hati.
Rupi menulis, "kumau kau hapus habis/ semua yang kau tahu soal cinta/ dan mulai dengan satu kata/ kasih/ berikan kepada mereka/ izinkan mereka memberikanmu/ jadilah dua pilar/ setara dalam cinta/ dan imperium pun niscaya kukuh di punggungmu."
Rupi mengajak mempertanyakan kembali pengetahuan kita dan memberi ruang lebih untuk menyadari kondisi emosional kita.
Kemudian kita perlu istirahat. Kita perlu rehat sejenak.
Rehat yang Rupi maksud bukan serta-merta mengasingkan diri dari segalanya, tetapi menyesuaikan diri untuk tetap memberi porsi yang adil bagi diri dan dunia luar.
Misalnya dalam konteks profesional, Rupi bilang, "kita bisa bekerja/ sesuai ritme kita/ dan tetap bisa/ sukses juga."
Rehat yang sehat adalah rehat yang adil pada diri dan sekitar.
Kesadaran adalah ujung dari perjalanan panjang manusia berurusan dengan kepala, hati, dan mengerti pentingnya rehat.
Kesadaranlah yang bisa menjadikan kita sanggup membedakan mana kenyamanan yang layak, dan mana yang justru melenakan, begitu pula sebaliknya, mana ketidaknyamanan yang semestinya dijalani, dan mana yang toksik.
Rupi menemukan “keseimbangan” itu dalam perjalanannya menuju kesadaran diri, "aku berhenti melawan/ perasaan tidak nyaman/ dan menerima bahwa kebahagiaan/ tidak berhubungan/ dengan rasa nyaman sepanjang waktu// - seimbang."
Rupi, melalui Home Body, memberikan perspektif menarik bagi pembaca untuk menuju hidup yang lebih berkesadaran, lebih mindful, bahwa perjalanan kita bukanlah dari ketidaknyamanan menuju kenyamanan.
Lebih dari itu, kita sebetulnya meninggalkan ketidaknyamanan yang toksik dan membelenggu, dan memilih ketidaknyamanan yang memungkinkan kita bertumbuh—ketidaknyamanan yang sehat.