Disabilitas Sensorik Setiap orang memiliki cara berbeda dalam menerima dan memproses informasi di sekelilingnya.
Ada yang memahami lingkungan melalui sentuhan, ada yang mengikuti percakapan dengan membaca gerakan bibir, dan ada pula yang menggunakan alat bantu seperti tongkat, alat dengar, kacamata khusus, atau screen reader.
Perbedaan cara ini sering kali terkait dengan disabilitas sensorik.
Disabilitas sensorik adalah kondisi ketika seseorang mengalami gangguan atau perbedaan fungsi pada satu atau lebih pancaindra, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, atau perasa sehingga cara mereka menerima dan memproses informasi dari lingkungan berbeda dari kebanyakan orang.
Namun, disabilitas sensorik bukan soal kekurangan yang harus dikasihani karena ini adalah perbedaan dalam cara tubuh dan otak mengolah sinyal dari sekitar.
Menariknya, banyak penyandang disabilitas sensorik justru mengembangkan strategi adaptasi yang kreatif, mulai dari mengandalkan tekstur, ritme, hingga pola suara.
Secara umum, disabilitas sensorik adalah kondisi ketika fungsi indra seseorang, baik indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, atau perasa mengalami gangguan sehingga berdampak pada aktivitas sehari-harinya.
Jika mengacu pada klasifikasi ICF (International Classification of Functioning, Disability and Health), disabilitas tidak hanya dilihat dari ada atau tidaknya gangguan pada organ, tetapi dari bagaimana kondisi tersebut berdampak pada aktivitas dan partisipasi seseorang.
Artinya, yang dinilai bukan hanya tubuhnya, tetapi juga bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
Dengan kata lain, disabilitas sensorik bukan sekadar soal indra yang bekerja dengan cara berbeda, tapi kombinasi antara kondisi sensorik + hambatan lingkungan + kurangnya aksesibilitas.
Jenis disabilitas ini muncul ketika seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan sehingga informasi visual yang masuk jadi tidak optimal.
Efeknya bisa ringan sampai berat, tergantung kondisi setiap orang.
Bentuknya beragam, mulai dari low vision (penglihatan ada tapi terbatas), buta sebagian, sampai buta total (tidak bisa menerima visual sama sekali), hingga gangguan penglihatan warna (color blindness).
Untuk disabilitas penglihatan, dibutuhkan alat bantu seperti kaca pembesar, tongkat putih, aplikasi screen reader, atau braille.
Kondisi ini tentu membutuhkan adaptasi dengan mengandalkan audio untuk menyerap informasi, text-to-speech untuk membaca, dan menghafal tata letak ruangan.
Disabilitas pendengaran memiliki beragam tingkatan, mulai dari tuli ringan, tuli sedang, tuli berat, hingga tuli total.
Kondisi ini dapat membuat seseorang kesulitan menangkap percakapan, terutama di lingkungan yang bising atau ramai.
Dalam berkomunikasi, penyandang disabilitas pendengaran biasanya menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa utama, seperti BISINDO atau SIBI.
Sebagian lainnya menggunakan alat bantu dengar, membaca gerak bibir, atau berkomunikasi dengan bantuan interpreter, tergantung kebutuhan dan preferensi masing-masing.
Gangguan sentuhan atau peraba yang dikenal sebagai tactile sensory issues, terjadi ketika seseorang memiliki respons yang berbeda terhadap rangsangan fisik pada kulit.
Kondisi ini dibagi menjadi dua jenis, yakni hipersensitivitas dan hiposensitivitas.
Hipersensitivitas adalah tubuh terlalu sensitif terhadap sentuhan dan akan terasa mengganggu atau menyakitkan, sementara hiposensitivitas adalah ketika seseorang justru kurang peka dan sulit merasakan tekanan atau tekstur.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Akibatnya, hal-hal sederhana seperti memakai pakaian tertentu, menyentuh benda bertekstur kasar, atau merasakan perubahan suhu bisa menjadi tantangan.
Gangguan pada indra penciuman dapat berupa anosmia yaitu ketidakmampuan mencium aroma sama sekali, atau hiperosmia ketika seseorang justru terlalu sensitif terhadap bau tertentu.
Kondisi ini dapat menyulitkan seseorang untuk mendeteksi bahaya, seperti gas bocor, serta memengaruhi selera makan dan kualitas hidup.
Sementara itu, gangguan pada indra perasa dikenal sebagai ageusia dapat membuat seseorang sulit merasakan cita rasa makanan sehingga semuanya terasa hambar.
Dampaknya bisa terlihat pada pola makan, nafsu makan, hingga pengalaman menikmati makanan sehari-hari.
Mendukung penyandang disabilitas sensorik bukan hanya soal menyediakan alat bantu, tetapi juga memahami kebutuhan dan cara komunikasi mereka karena setiap individu memiliki pengalaman sensorik yang berbeda sehingga pendekatannya pun harus disesuaikan.
Komunikasi adalah kunci utama dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas sensorik.
Aksesibilitas bukan hanya ramp atau lift, tetapi juga bagaimana informasi dan ruang bisa diakses dengan mudah.
Setiap individu memiliki preferensi komunikasi yang berbeda.
Daripada menebak-nebak, cara terbaik adalah bertanya langsung.
Contohnya: “Kamu lebih nyaman pakai bahasa isyarat, alat bantu dengar, mengetik, atau metode lain?” Dengan cara ini, interaksi jadi lebih nyaman bagi satu sama lain.
Mereka tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan perlakuan setara dan penghargaan penuh terhadap kemampuan mereka.
Banyak penyandang disabilitas sensorik memiliki strategi adaptasi yang luar biasa.
Fokuskan komunikasi pada dukungan nyata, seperti: “Ada yang bisa aku bantu?” atau “Perlu aku jelaskan bagian ini?” dengan empati tanpa merendahkan.
Inklusif bukan hanya soal fasilitas, tetapi budaya dan kebiasaan.
Contohnya, mengurangi kebisingan berlebih di ruang publik, menyediakan materi acara yang mudah diakses, atau memastikan kegiatan dapat diikuti semua peserta.
Ketika lingkungan mendukung, penyandang disabilitas sensorik bisa bergerak lebih leluasa tanpa hambatan tambahan.
Dengan komunikasi yang tepat, aksesibilitas yang memadai, dan sikap saling menghormati, kita bisa menciptakan lingkungan yang benar-benar ramah bagi semua.
Dukungan kecil yang kita berikan bisa menjadi langkah besar menuju masyarakat penuh empati.
Membaca buku Demystifying Disability dapat menjadi langkah awal untuk memahami perspektif penyandang disabilitas secara lebih mendalam.
Dalam buku ini membahas hal-hal penting terkait isu disabilitas, termasuk mengenali dan menghindari ableisme (diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas), mempraktikkan etiket disabilitas yang baik, menghargai identitas dan sejarah disabilitas, hingga mengidentifikasi tentang stereotip disabilitas di media.
Buku ini bisa didapatkan di Gramedia.com atau Gramedia Digital untuk versi E-book!