Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Tahun Rosihan Anwar; Mengenal Sosok Sang Jurnalis Lintas Zaman

Kompas.com - 17/05/2022, 15:27 WIB
Rosihan Anwar Dokumentasi Elex Media Komputindo Rosihan Anwar
Rujukan artikel ini:
Melangkah di Tiga Zaman
Pengarang: M. HARJONO KARTOHADIPRODJO
|
Editor Ratih Widiastuty

Rosihan Anwar Sang Jurnalis Lintas Zaman

Tahun 2022 secara bersamaan tiga orang putra bangsa yang berprestasi menandai kelahiran mereka satu abad yang lalu.

Berturut turut, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar dilahirkan pada tahun yang sama, 1922. Rosihan lahir tanggal 10 Mei di Sumatera Barat.

Mungkin kebanyakan generasi milenial asing terhadap nama nama ini.

Betapa tradisi menghayati sejarah bangsa seyogyanya ditanamkan di bangsa ini seperti halnya di negara negara yang sejak lama sudah menjadi negara maju. Kecenderungan bendawi dalam kehidupan bangsa ini menjadikan hidupnya masyarakat konsumtif dan jauh dari watak produktif serta inovatif.

Soedjatmoko diakui sebagai seorang budayawan cendekiawan yang mendunia.

Rosihan Anwar lebih berkiprah secara nasional. Keduanya memberi sumbangan yang sama besarnya dalam mencerdaskan serta meningkatkan tata nilai bangsa ini. Mereka ditakdirkan secara pribadi tumbuh menjadi sahabat sampai akhir hayat.

Sahabat juga di dalam intelektualitas. Hal yang menarik bagi saya, bagaimana sejarah hidup dua manusia yang dimulai dari keakraban intelektual dan ditutup dengan keakraban serta kasih sayang spiritual religius.

Cerita berdiskusi sambil nongkrong di toilet alam Malino tahun 1946 yang bernuansa intelektual akliyah, ternyata diakhiri dengan penghantaran jenazah diiringi tangisan Rosihan Anwar dari Jogyakarta ke Jl. Tanjung No. 18 di Jakarta, tahun 1989.

Soedjatmoko sempat menjalani ibadah umrah bersama Rosihan, meninggal sebagai seorang Muslim yang saleh, transformasi yang disaksikan prosesnya oleh sahabatnya sejak muda.

Rosihan mengalami zaman penjajahan Belanda dan Jepang, masa perjuangan kemerdekaan, masa awal republik yang penuh pergolakan, masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Reformasi.

Mungkin hal ini yang menjadi latar belakang seringnya dia memunculkan istilah Zeitgeist dalam beberapa tulisannya. Semua masa diisi utamanya dengan kiprah profesi jurnalistik.

Dia adalah manusia penuh warna. Main tonil, penyiar, main film dan hal lainnya, tetapi dia tetap dengan sadar menampilkan dirinya sebagai seorang jurnalis profesional berdedikasi. Dia seorang Muslim yang saleh, mengajari anak anaknya mengaji, tetapi masa berdansa dansi pernah dijalaninya.

Lakhdar Brahimi muda saat perjuangan kemerdekaan Aljazair dekat dengan dia dan lingkungannya. Lakhdar menjadi tokoh berperan di kegiatan internasional Perserikatan Bangsa Bangsa yang menurut saya tidak lepas dari pengaruh pergaulannya di Indonesia dengan tokoh tokoh politik khususnya sosialis.

Pengenalan lebih dekat terhadap Rosihan Anwar berlangsung saat saya sudah dewasa. Menjadi pendengar diskusi antara tokoh-tokoh terkenal di Jl. Guntur 49, merupakan pengalaman yang bermanfaat bagi saya, padahal saya bukan peringkatnya untuk menjadi bagian mereka.

Rosihan Anwar dengan kebiasaan yang khas, kaki naik ke atas kursi, cangklong terpasang memberi komentar pada saat diskusi. Perjalanan pengenalan semacam ini memberi impresi betapa penguasaan berbagai bahasa, pengenalan berbagai budaya disertai latar belakang informasi yang sahih dikemas menjadi suatu pendapat yang cerdas.


Baca juga: Biografi Orang Sukses Indonesia


Profesional yang Utuh

Seluruh hidupnya yang utama adalah pengabdian dalam bidang jurnalistik. Selingan lain baik sebagai aktor film, tonil, penyiar, dan lainnya tidak megurangi kecintaannya dalam bidang jurnalistik.

Buku-buku karyanya menampilkan berbagai sosok manusia dengan watak beragam dengan cara yang menarik. Pada saat dia tahu saya memiliki koleksi buku karangannya, sering dia memberi saya hadiah dengan menuliskan nama kecil saya dalam pengantarnya.

Jurnalis masa kini perlu mempelajari perjalanan profesional Rosihan. Penguasaan bahasa yang beragam, Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan yang mendasarinya saat dia sekolah AMS di Jogyakarta adalah Bahasa Latin.

Saat itu sempat mondok di rumah Prof Tjan Tjoe Siem seorang muslim yang saleh. Di tempat ini dia sempat belajar bahasa Arab meskipun tidak tuntas dengan datangnya Jepang menduduki Indonesia.

Menarik bahwa Rosihan menceritakan saat itu dia tidak acuh masalah agama. Dikemudian hari dia malahan dikenal tulisannya dengan nama Haji Waang. Taat beribadah dan sempat membimbing sahabatnya Soedjamoko ibadah umrah dan mengajari anak-anaknya di rumah mengaji.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Melakukan kajian berita tidak sekedar di permukaan merupakan penguasaan secara mendalam dalam penyajian. Menyelami latar belakang sosok yang menjadi berita, serta peristiwa yang terjadi adalah hal yang sangat mengesankan dari kemampuan Rosihan.

Saya belajar bahwa tidak semua hal dapat ditampilkan dalam berita, ada yang off the record, didasari berbagai pertimbangan dan dihormati untuk dipatuhi. Hal ini ternyata tidak melindungi Koran Pedoman yang dipimpinnya mengalami pemberedelan dalam dua masa, yaitu Masa Orde Lama dan masa Orde Baru, yang mana kemudian tidak dapat dihidupkan lagi.

Peristiwa yang pasti sangat menimbulkan duka pada dirinya tidaklah menghentikannya untuk tetap aktif sebagai seorang jurnalis hingga akhir hayatnya. Paduan antara pengetahuan yang mumpuni serta sikap memegang teguh etika jurnalistik menunjukkan integritas pribadi seorang profesional. Hal yang langka dijumpai di masa kiwari.


Baca juga: Contoh Copywriting


Watak dalam Hubungan Antar Manusia

Sebagai suami yang menceritakan perjalanan cintanya, dapat kita simak dalam bukunya Belahan Jiwa. Cerita ringan yang menggambarkan toleransi, bagaimana kebiasaan Rosihan mematikan lampu ketika tidur dan bagaimana Ida, sang istri, harus menyalakan lampu.

Sebagai pengantin baru, Rosihan kreatif dan menggunakan celana dalamnya untuk menutup lampu. Keesokan harinya dia menemukan celana yang gosong terbakar. Sejak itu di mengalah, lampu menyala waktu tidur demi cintanya.

Pada perjalanan hidup memasuki hari tua, Rosihan tetap mematuhi nasihat istri tercinta. Saat 1972 ditawarkan untuk jadi Duta Besar di Vietnam, tegas sang istri dalam bahasa Belanda: “Nee, je gaat niet“. Pertimbangan hati dan akal sehat istri dipatuhi sang suami.

Saya pernah merasakan wibawa Ida Sanawi Rosihan ketika salah seorang puterinya jatuh sakit saat menemani saya membangun sebuah klinik di rumah sakit di pantai utara Jakarta.

Sorotan mata tajamnya serta tegurannya tidak terlupakan. “No, kamu ajak dia kerja yang melelahkan dan jauh dari rumah!” Meskipun dalam kenyataannya, selama dua puluh tahun berjalan dikemudian hari, puterinya sehat walafiat dengan kerja yang jauh lebih berat hampir setiap hari.

Pada umumnya kesan pertama yang dirasakan orang yang baru bertemu Rosihan adalah seragam, yaitu arogan. Saya tidak merasakan hal itu. Mungkin karena tidak mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya menimbulkan kesan itu.

Keakraban kesamaan profesi, saya lihat dalam berbagai acara, berkumpulnya tiga orang sambil menikmati minuman.Rosihan, Jakob Oetama, dan Sabam Siagian.

Keunikan dalam hubungan antar manusia dapat kita lihat saat Rosihan bersama Jakob Oetama dianugerahi Bintang Mahaputera oleh Presiden Suharto. Pedoman tetap tidak boleh terbit, menolak jadi Dutabesar, tetapi tetap dianugerahi bintang jasa.

Makin lama mengenalnya saya melihat sisi ketulusan yang tidak saya miliki. Pada saat Subadio Sastrosatomo meninggal, yang juga sahabat dekatnya, saya melihat suatu adegan yang tidak terduga.

Rosihan masih di pinggir pusara, berbicara seolah dengan sosok yang masih hidup. Antara lain yang saya dengar, “Kiyuk, betapa kesepiannya kamu sendiri di situ!” Sementara di seberangnya adik bungsu saya sedang berdoa.

Pada akhir kehidupan Pak Kiyuk, panggilan akrab untuk Subadio, saya bersikap kritis saat dia intens menjalankan Kejawen.

Rosihan memberikan toleransi sebagai seorang Muslim yang taat, menurutnya Pak Kiyuk sedang mencari jati diri sebagai orang Jawa. Watak ketulusan seorang sahabat yang mencari sisi baik dan bukan menghujat ini tidak bisa saya tiru saat itu.

Ketulusan dan kasih sayang yang pasti dirasakan oleh seluruh keluarga besarnya saat melepas jenazah dari Jalan Surabaya.

Keluarga juga meminta saya memberikan sambutan. Ini adalah suatu pengakuan yang membahagiakan padahal sebagian besar yang hadir tidak mengenal saya. Di alam barzah, saya bayangkan dalam khayalan, berkumpulnya sosok-sosok berwatak memandang dengan beragam perasaan melihat perjalanan bangsa tercinta ini.

Semoga 100 tahun ini, seorang Rosihan Anwar meninggalkan suatu warisan yang diteladani oleh generasi mendatang dalam mencapai Indonesia tangguh dan maju.

Kisah tentang perjalanan hidup anak bangsa dapat kamu temukan pada Buku Melangkah di Tiga Zaman karya M. Harjono Kartohadiprodjo.

Buku ini bisa kamu beli dan dapatkan di Gramedia.com. Selain itu, ada gratis voucher diskon yang bisa kamu gunakan tanpa minimal pembelian. Yuk, borong semua buku di atas dengan lebih hemat! Langsung klik di sini untuk ambil vouchernya.

promo diskon promo diskon

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com