Apa yang kamu rasakan ketika kamu berkunjung ke suatu tempat tak berpenghuni, gersang, tandus, dan senyap?
Lalu, semakin lama kamu tinggal di tempat itu, semakin banyak pula terpapar hingga terjebak misteri-misteri yang hidup di dalamnya?
Mungkin kamu bisa menanyakannya kepada Juan Preciado dalam novel Pedro Páramo, itupun jika ia adalah seorang tokoh nyata, ditambah lagi apabila ia juga bisa keluar dari tempat tersebut hidup-hidup.
Awal mulai kisah itu bermula ketika sang ibu, Dolores Preciado, yang sedang meregang nyawa meminta Juan Preciado pergi untuk mencari sang ayah, Pedro Páramo, di Comala, tempat yang digambarkan sangat indah, subur, dan penuh dengan harapan.
Sebagai anak yang berbakti, Juan Preciado pun pergi ke Comala demi bertemu dengan sang ayah, Pedro Páramo, yang tidak pernah ia kenal sejak bayi.
Malang menerpa, setelah sampai di sana, Juan Preciado dihadapkan dengan realita yang tak sesuai dengan apa yang diceritakan oleh mendiang ibunya.
Kekosongan, kesunyian, tanah yang gersang dan tandus, serta udara yang pengap.
Malam di sana sangat mencekam dan menyeramkan.
Arwah-arwah bergentayangan, terjebak dalam siksa dunia karena tidak diterima di langit.
Bisikan-bisikan dan gumaman kesengsaraan mereka sampai bisa terdengar oleh Juan Preciado.
Sialnya lagi, ia tidak bisa hengkang dari tempat itu dan terbawa pusaran misteri yang menyelimutinya.
Novel Pedro Páramo karya Juan Rulfo merupakan salah satu karya literatur Amerika Latin yang beraliran realisme magis, di mana realita-realita yang ada bersinggungan dengan hal-hal magis tak kasat mata.
Dari awal ketika baru sampai di Comala, pembaca langsung dibuat bergidik dengan pertemuan tak terduga Juan Preciado dan Eduviges Dyada.
Dari situlah, terungkap seperti apa sang ayah, si Pedro Páramo, seperti apa semasa hidupnya, bagaimana ia bertemu dengan sang ibu, Dolores Preciado.
Layaknya jamuan makan malam, pertemuan Juan Preciado dengan Eduviges Dyada hanyalah bagaikan hidangan pembuka, di mana hidangan utama hingga hidangan penutup mampu membuat pembaca geleng-geleng kepala.
Entah karena sangat nikmat atau malah sebaliknya.
Perlu waktu untuk mengunyah dan mencernanya.
Semua tidak bisa langsung dirasakan begitu saja.
Itulah perumpamaan jika kita membaca novel beraliran realisme magis.
Penuh dengan hal-hal mistis dan tak masuk akal, berdampingan dengan kehidupan sehari-hari, akan tetapi tidak serta merta mengubah alur ceritanya menjadi cerita fantasi.
Seolah-seolah makhluk halus atau para arwah merupakan sudut pandang orang ketiga di dalam cerita, seolah-olah hal-hal magis yang terjadi adalah kejadian alam yang wajar sebagaimana siang berganti malam, aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, mamalia betina yang melahirkan, dan lain sebagainya.
Salah satu hal yang menarik dari novel Pedro Páramo adalah penggabungan dua alur masa kini, di mana saat Juan Preciado menjalani hari-harinya bersama teror di Comala, serta masa lampau, di mana penulis menceritakan kehidupan Pedro Paramo.
Waktu yang melompat-lompat memang terkesan membingungkan ketika novel ini baru dibaca beberapa halaman saja.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Bahkan penulis besar asal Kolombia, Gabriel García Márquez, baru bisa tidur setelah membaca novel Pádro Paramo sebanya dua kali dalam satu malam.
Rulfo tidak memberi sub bab, tidak ada tanda khusus yang menjadi pembeda alur pada setiap bagian-bagiannya.
Tulisannya dibiarkan mengalir begitu saja seakan-akan tidak penting masa kini dan masa lampau, lagi pula memang benar masa kini dan masa lampau hanya dibedakan garis tipis antara kehidupan dan kematian.
Dalam novel ini tidak ada penjelasan khusus sebab akibat masa kini yang dipengaruhi oleh masa lampau, tidak adanya penyesalan-penyesalan, serta tidak adanya klimaks yang berlebihan.
Setiap babak cerita yang dituturkan Rulfo tersimpan kesederhanaan namun dalam maknanya, yang dapat mengetuk sisi spiritual siapa pun yang membaca Pedro Páramo.
Sebagaian besar karya literatur penulis-penulis dari Amerika Latin memang berpusat tentang hubungan kekeluargaan.
Bahkan, panjang ceritanya bisa mencapai beberapa generasi yang dituturkan dalam satu waktu.
Begitu pula dalam novel Pedro Páramo, ceritanya dibagi dalam tiga generasi meskipun tidak dijelaskan secara berkepanjangan.
Sosok ayah dan hubungan dengan anak laki-lakinya mendapat sorotan tajam dalam novel ini.
Dan hal yang selalu mengikuti di mana pun keluarga itu berada adalah tanah warisan.
Keluarga dan tanah warisan bagaikan dua sejoli yang dapat mengundang kebahagaiaan, namun sayang lebih banyak sengsaranya.
Tidak hanya untuk keluarga itu sendiri, akan tetapi juga orang lain yang berada di lingkaran si keluarga.
Nama Juan Rulfo memang tidak sepopuler Gabriel García Márquez, namun justru Pedro Páramo menjadi salah satu karya yang cukup membekas bagi Gabo, hingga akhirnya ia jatuh hati kepada karya-karya Rulfo yang lainnya.
Baginya, novel ini merupakan karya puitis tertinggi.
Pedro Páramo merupakan tempat di mana kita tidak bisa benar-benar yakin di mana batas antara yang hidup dan yang mati, ketepatan dalam hal apa pun makin sulit dicapai.
Tak seorang pun tahu, tentu saja, berapa lama kematian bisa berlangsung.
Juan Rulfo menjadi penulis yang banyak dibaca tapi jarang dibicarakan.
Lahir di Meksiko pada tahun 1917, seumur hidupnya ia hanya menelurkan dua karya.
Yang pertama merupakan kumpulan cerita pendek berjudul El Llano en Llamas (Dataran Dalam Kobaran Api) yang terbit pada tahun 1953 serta pada Desember 2021 diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dan yang kedua adalah Pedro Páramo yang terbit pada tahun 1955 serta diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017.
Karya epik ini menjadikan Juan Rulfo sebagai salah satu nama yang berpengaruh pada karya literatur Amerika Latin dan dunia.
Kedua karya Juan Rulfo bisa dipesan dan dibeli di Gramedia.com.
Selain itu, ada gratis voucher diskon yang bisa kalian gunakan tanpa minimal pembelian. Klik di sini untuk dapatkan vouchernya!