Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kopi Pahit Kiwirok

Kompas.com - 27/01/2022, 10:00 WIB
Dok. Gramedia Pustaka Utama
Rujukan artikel ini:
Duka Dari Nduga
Pengarang: Kristin Samah
|
Editor Almira Rahma Natasya

JAKARTA (21/12/2021) — “Kelak kalau tidak ada lagi trauma, mungkin aku akan kembali ke sana,” laki-laki muda itu mengarahkan pandangannya ke telepon genggam, sekadar untuk mengalihkan perhatian.

Kemudian lehernya memutar arah tatapan pada antrean mengular orang-orang yang akan masuk toko, akibat pembatasan pengunjung.

Namun, dari sorot matanya, bukan kesibukan berbelanja itu yang tergambar layaknya scene film.

Kalau saja waiter tidak segera menawarinya minum, barangkali ia akan terlempar ke dalam “jurang”, entah untuk keberapa kalinya.

“Air mineral saja,” ujarnya ketika laki-laki dengan sisiran rapi itu menawarinya one-shot espresso dari pabrik kopi Italia.

Kopi hanya akan mengingatkannya pada Kiwirok.

Di saat ia dianiaya, kemudian dilempar ke dalam jurang nun 230 km jarak dari tempatnya, banyak orang mencari kopi Kiwirok.

Konon kopi dari distrik di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua itulah yang terbaik.

Saat yang hampir bersamaan, orang-orang dari berbagai kota di Indonesia, memang tengah mempersiapkan hajat nasional Pekan Olah Raga di Jayapura, Mimika, dan Merauke.

Ia tak ingin menceritakan apa yang sudah terjadi pada dirinya, juga pada tenaga kesehatan lainnya.

Beberapa kali lawan bicaranya memohon kepadanya, untuk tidak menangis.

Pria yang belum tiga tahun lulus dari pendidikan itu menepati janji.

Ia seperti pipa paralon produk dalam negeri, yang digambarkan reklame, tetap kuat sekalipun gajah telah menginjak-injaknya.

Tangan kanannya patah. Dalam hitungan pekan, ia harus melepas pen.

“Tidak apa-apa, sebentar lagi sembuh,” ujarnya seolah berbicara pada diri sendiri.

Luka di sekujur tubuhnya tak seberapa dibanding luka batin yang datang dan pergi sesuka hati.

Itu sebabnya ia masih harus bertemu dengan dokter dan psikolog.

Kalau tidak ada penduduk lokal yang melindunginya, entah apa yang terjadi dengan pria bertubuh kerempeng itu.

“Saya disiksa, kemudian difitnah,” ujarnya.

Tiap kata yang ia ucapkan, seperti mengulang kisah Duka dari Nduga yang dialami Veronika, guru yang diperkosa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Mapenduma tahun 2018.

Sudah diperkosa, diancam tidak boleh bercerita kepada siapa pun, masih pun difitnah menyebarkan kabar bohong.

Lalu sejumlah pejabat pemerintah daerah setempat mengatakan, tidak ada pemerkosaan.

Beruntung ketika itu, Kapolda Papua Irjen (Pol.) Martuani Sormin langsung memanggil pejabat yang berwenang, termasuk tokoh-tokoh yang berkepentingan untuk menyaksikan langsung apa yang terjadi pada korban.

Saat itu juga opini publik langsung berbalik.

Mereka yang semula tidak percaya terjadi pemerkosaan, langsung menyatakan mengutuk orang-orang yang telah berbuat biadab pada para guru itu.

Selalu ada dua versi berita di Papua.

Bahkan mungkin, terlalu sedikit menyebut bilangan dua karena yang sesungguhnya terjadi, banyak versi berita yang saling bertentangan.

Di antara yang menganiaya itu, terdapat pasien yang sering datang ke Puskesmas Kiwirok, dan dilayani dengan baik.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Ah… apa bedanya dengan Guru Veronika? Ia diperkosa gerombolan yang dipimpin bekas muridnya di sekolah dasar.

Untuk menjadi catatan, sekalipun Distrik Kiwirok hanya bisa dijangkau dengan pesawat maksimal bermuatan dua belas penumpang, kondisi bangunan dan fasilitasnya lebih lengkap dibanding Puskesmas di distrik-distrik lainnya.

Seolah-olah ada pembiaran, katanya.

Kali ini, biarlah senyam menemani sesapan kopi pahit.

Kiwirok seolah mengulang apa yang terjadi di Nduga.

Menanggapi Cerita dalam Buku Duka dari Nduga

Pesan apa yang sesungguhnya hendak disampaikan KKB ketika menganiaya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan? Bukankah dua profesi itu menjadi tulang punggung untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat? Bukankah jumlah guru yang mau mengabdikan diri ke daerah terpencil hanya berhenti pada hitungan jari-jari? Begitu juga tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat yang jumlahnya lebih sering berkurang daripada semakin bertambah.

Dalam buku Duka dari Nduga, KKB “menghabisi” para pekerja yang membangun jembatan di Distrik Yigi, dengan alasan, mereka adalah aparat keamanan yang menyamar.

Di buku itu juga diceritakan, guru dan tenaga kesehatan yang pada awalnya menunda keberangkatan ke Mapenduma karena kabar bahwa kondisi keamanan tidak memungkinkan, terpaksa mencarter pesawat karena ada desakan untuk segera menuju ke tempat pengabdian.

Mereka tidak pernah menyesali uang puluhan juta yang dikeluarkan untuk sewa pesawat.

Namun ketika setiap pengorbanan yang sudah dilakukan atas nama pengabdian pada masyarakat, diabaikan, bahkan dianggap sepi, kepada siapa kelu harus ditujukan?

Rentetan kekerasan yang terjadi di Nduga seperti berulang di Kiwirok.

Tenaga kesehatan ditendang ke jurang, satu di antaranya meninggal dunia, dua perempuan lainnya ditemukan tak berpakaian, bahkan mengalami luka di alat vital oleh karena senjata yang dipergunakan untuk berperang.

Dan seperti halnya Veronika, pria muda tenaga kesehatan itu mengakui, entah apa jadinya bila Polisi tidak sigap bertindak.

Polda Papua langsung mengevakuasi, membawa korban luka ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, dan mengembalikan mereka ke kampung halaman masing-masing buat yang menderita trauma berkepanjangan.

“Seluruh biaya ditanggung Polisi,” katanya.

Sesudahnya? Polisi di kampung halaman mereka masih memantau, memberikan pelayanan yang dibutuhkan, bukan hanya kesehatan fisik tetapi juga mental.

Sedangkan instansi lainnya? Termasuk lembaga yang mempekerjakan mereka? Bertanya kabar pun tidak pernah.

Digambarkan, Kiwirok itu seperti belahan kayu log.

Dataran memanjang tidak terlalu luas, di sisi kiri dan kanan, jurang curam semata.

Sepekan sebelum peristiwa kelam, anak-anak dan masyarakat setempat mengiring para tenaga kesehatan, melakukan vaksinasi pada anak-anak.

Mereka mengabdi sepenuh hati, bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga pada mama-mama, dan kaum pria.

Ya… kaum pria yang beberapa di antaranya menyerang dan turut menganiaya tenaga kesehatan itu.

Kalau guru dan tenaga kesehatan disiksa bahkan dibunuh, lalu siapa yang akan memberi obat bila kelak ada yang sakit? Siapa yang akan mengajari baca tulis? Siapa yang akan memberi teladan cara hidup yang lebih baik supaya terhindar dari penyakit?

“Saya masih akan kembali ke Papua,” ujar pria muda itu.

Masyarakat yang selama ini kami layani, memiliki hati yang baik. Sebagian dari mereka, melindungi kami supaya tidak semakin dianiaya.

Untuk mendapatkan buku Duka dari Nduga karya Kristin Samah, terbitan Gramedia Pustaka Utama, Anda bisa berkunjung ke Gramedia.com atau membaca versi buku digitalnya pada aplikasi Gramedia Digital.

Dapatkan juga gratis voucher diskon tanpa minimal pembelian hanya dengan klik dan isi form di sini.

Dapatkan Diskonnya! Dapatkan Diskonnya!

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau