Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Depan Seperti Apa yang Kita Inginkan?

Kompas.com - 30/01/2022, 08:20 WIB
Sumber Foto: Gramedia.com
Rujukan artikel ini:
Life 3.0 Menjadi Manusia Pada…
Pengarang: MAX TEGMARK
Penulis Eko Nugroho
|
Editor Ratih Widiastuty

Kecerdasan Manusia VS Kecerdasan Buatan

Kehidupan manusia telah berkembang menjadi semakin kompleks sejak manusia tercipta di dunia.

Salah satu yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya adalah dalam hal kecerdasan (intelligence).

Sebagai sebuah anugerah utama, yang bukan saja membantu manusia purba untuk bertahan hidup di muka bumi tetapi juga menjadi sebuah perangkat yang mampu mendefinisikan kemanusiaan itu sendiri, kecerdasan (pikiran, otak – sebagai alatnya) telah membawa manusia mengarungi ribuan tahun hingga saat ini, dan kini manusia pun telah mampu menciptakan sebuah kecerdasan di luar dirinya.

Kita mengenalnya sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence).

3 Tahapan Kecerdasan dalam Perkembangan Manusia

Ada tiga tahapan kecerdasan dalam perkembangan manusia itu sendiri, yang diberi istilah LIFE 1.0 hingga 3.0.

1. Life 1.0

Life 1.0 adalah bentuk awal kecerdasan yang sangat sederhana dan biologis sifatnya.

Kecerdasan ini belum dapat menciptakan perangkat lunak dan perangkat kerasnya sendiri, semua masih sangat tergantung pada DNA dan perubahan secara evolusioner.

2. Life 2.0

Life 2.0 adalah perkembangan lebih lanjut kecerdasan yang bersifat kultural.

Pada tahap ini manusia telah mampu menciptakan perangkat lunaknya sendiri (sistem kognisi, bahasa, profesi, seni, pengetahuan), tetapi belum bisa menciptakan perangkat kerasnya.

Karena kemampuan menciptakan dan mengelola perangkat lunak itulah, manusia pada tahap ini mampu bertahan hidup, dan membentuk tatanan sosial.

3. Life 3.0

Life 3.0 merupakan tahapan kita saat ini, ditandai dengan lahirnya spesies baru bernama teknologi.

Manusia telah mampu menciptakan perangkat kerasnya, bahkan secara sederhana membuat entitas kecerdasan baru di luar dirinya.

Inilah awal dari era kecerdasan buatan.

Kita tidak perlu repot membayangkan kecerdasan buatan seperti dalam film A.I. (Steven Spielberg).

Dalam bentuk paling sederhana, kita telah hidup bersama-sama (dan saat ini cenderung harmonis) dengan kecerdasan buatan.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Beberapa contohnya adalah video game yang dapat membuat variasi skenario, lampu lalu lintas yang “membaca” dan menyesuaikan dengan kondisi kepadatan jalan, microwave cerdas yang dapat mendeteksi tingkat kematangan, hingga teknologi mesin pencari (search engine) yang dapat membaca semua preferensi kita, untuk nantinya membuat kustomasi dalam perilaku pencarian kita di belantara web.

Namun, cepat atau lambat, semua yang digambarkan dalam film karya sutradara ternama tadi pasti akan terjadi.

Saat ini, para insinyur, programmer dan ahli dari disiplin ilmu terkait berlomba untuk “mencerdaskan” kecerdasan buatan itu sendiri, dari yang awalnya memerlukan manusia sebagai pengendalinya, menuju ke otonomi, sebuah kecerdasan yang mandiri, mampu melakukan analisis tanpa diminta, dengan hanya berdasarkan dinamika perubahan lingkungannya, membuat keputusan, mengoreksinya jika salah, dan bahkan memperbaiki sendiri sistemnya jika mengalami kerusakan.

Kita sudah sedekat itu menuju sebuah penciptaan “entitas hidup” yang baru di dunia ini.

Tidak perlu berkhayal menuju sebuah dunia yang dipenuhi robot atau humaniod.

Penciptaan kecerdasan buatan yang menyamai atau bahkan melampaui dimensi-dimensi kecerdasan manusia adalah inti dari semuanya.

Bentuk fisiknya sangat fungsional dan dapat bermacam-macam, mulai dari sebuah kotak mainframe yang sama sekali tidak menarik, hingga sebuah robot sex Jepang yang sungguh menggiurkan, dan paham semua keinginan kita! Namun, tetap saja, intinya adalah kecerdasan itu sendiri.

Tinggallah sebuah pertanyaan yang tersisa bagi kita yang hidup saat ini, yang mungkin menjadi sebuah pertanyaan terpenting dalam abad ini: seperti apakah masa depan yang kita inginkan nanti?

Bahwa hakikat masa depan umat manusia sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari kehadiran AI, itu adalah sebuah keniscayaan.

Masalahnya, AI yang seperti apa? Yang mampu memberikan manfaat bagi kita, sehingga mendorong berkembangnya kemanusiaan itu ke level yang lebih tinggi lagi? Atau malah AI yang menjadi terlampau cerdas sehingga membahayakan kemanusiaan itu sendiri?

Seberapa jauh definisi “terlampau cerdas” itu yang kita sepakati? Apa saja batasan-batasan dalam pengembangan AI yang harus kita waspadai? Apa alasan etis normatif yang membuat kita mampu menahan diri dari “bermain peran sebagai Tuhan”? Ketika dahulu manusia sukses melakukan cloning pada hewan (domba bernama Dolly, tahun 1997), maka boleh dibilang dalam dimensi tertentu manusia telah menjadi nyaris sejajar dengan Sang Pencipta dalam tataran biologis.

Lalu kini, melalui AI atau kecerdasan buatan, manusia pun mensejajarkan diri dengan Sang Pencipta dalam hal kognitif, yang menjadi inti sari dari semua kehidupan.

Jadi, mampukah kita tetap “menjadi manusia” dalam era AI di masa depan? Dalam hal ini, kebijaksanaan kitalah yang paling dibutuhkan, dan mungkin kebijaksanaan ini menjadi salah satu sifat manusia yang paling sulit untuk diimplementasikan ke dalam kecerdasan buatan.

Buku Life 3.0 Menjadi Manusia di Era Kecerdasan Buatan bisa didapatkan melalui Gramedia.com.

Selain itu, terdapat gratis voucher diskon yang dapat digunakan tanpa minimal pembelian. Klik di sini untuk segera dapatkan vouchernya.

promo diskon promo diskon

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau