Cinta memang salah satu topik yang tidak akan habis dibahas, karena pada dasarnya manusia memang butuh cinta.
Bahkan menurut Abraham Maslow, seorang Psikolog kenamaan Amerika, kebutuhan untuk dicintai, dimiliki atau mencintai dan menyayangi ini ada di posisi ketiga setelah kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan kebutuhan rasa aman seperti karier dan kehidupan sosial.
Jika kebutuhan ini jadi salah satu kebutuhan paling awal dalam hidup manusia, bukankah artinya kita harus memikirkannya dengan lebih serius? Tapi mengapa dalam sistem pendidikan dan masyarakat kita, urusan kasih sayang atau cinta bukan menjadi salah satu hal utama untuk dibahas? Apakah karena dianggap isi hati biarlah menjadi urusan masing-masing? Apakah jadinya terlalu personal ranah pembicaraannya?
Harusnya tidak, karena urusan perasaan bisa memengaruhi urusan yang lain, seperti pendidikan, komunikasi, kerohanian, kesehatan, dan pekerjaan.
Karena itu, perlu kita pertimbangkan untuk lebih serius memberikan edukasi tentang urusan cinta.
Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa tidak semua orang siap menjalin hubungan.
Sebagian juga berasal dari lingkungan keluarga toxic, yang tidak memberi contoh yang baik tentang hubungan antarmanusia.
Namun, karena manusia tetap butuh cinta, akhirnya memaksakan diri masuk dalam sebuah hubungan.
Jadinya, banyak yang gagal menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai pasangan dan kemudian menjadi seseorang yang toxic.
Situasi ini bisa terjadi dalam hitungan hari hingga tahunan.
Dampaknya? Jangan ditanya.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Mulai dari dampak emosional, mental, hingga fisik, semuanya bisa dirasakan atau dialami.
Banyak yang memilih diam saat terjebak dalam toxic relationship dan menyimpan sendiri kondisi ini, menganggapnya “selesai”, padahal banyak luka dan trauma yang terjadi, bisa kapan saja terpicu dan muncul dalam bentuk sikap-sikap yang tidak menyenangkan.
Ada juga yang berusaha menerima, melupakan, sambil memulihkan diri.
Tapi ada juga yang “terpenjara” dalam rasa takut untuk berhubungan kembali dengan orang lain.
Masih banyak akibat lain yang ditimbulkan, seperti yang dibahas dalam buku Toxic Relationship Free.
Begitu juga penjelasan tentang apa saja gejala-gejala yang terjadi ketika sebuah hubungan itu toxic, penyebab seseorang bisa jadi toxic, dan bagaimana cara lepas dari hubungan beracun, dibahas tuntas di buku ini.
Yang membuatnya makin menarik, ada 30 cerita dari toxic relationship survivors yang ikut berpartisipasi mengirimkan cerita nyata mereka menjalani toxic relationship.
Dapatkan bukunya sekarang dan mari berpartisipasi mengedukasi diri dan bangsa dalam urusan cinta dan kasih sayang yang sehat.
Kamu bisa membelinya secara online melalui Gramedia.com.
Selain itu, ada gratis voucher diskon yang bisa kamu gunakan tanpa minimal pembelian. Yuk, beli buku di atas dengan lebih hemat! Langsung klik di sini untuk ambil vouchernya.