Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Diam! Minta dan Berilah Bantuan: Mengenali dan Mengatasi Narcissistic Personality Disorder, Obsessive Compulsive Disorder, dan Postpartum Depression

Kompas.com - 25/03/2022, 20:00 WIB
Sumber Gambar: Dok. Gramedia Pustaka Utama
Rujukan artikel ini:
Kenali dan Atasi: NPD, OCD,…
Pengarang: Dian Noviyanti
|
Editor Novia Putri Anindhita

Kehidupan itu bagai lintasan Sirkuit Mandalika.

Kadang lurus, kadang berkelok, bisa mengakibatkan “mesin” terbakar, atau berisiko membuat kita jatuh terjungkal.

Seperti pagi yang berpasangan dengan malam, yin dengan yang.

Tak ada yang selamanya menyenangkan, tak pula selalu nestapa.

Yang perlu kita utamakan adalah bagaimana menyikapinya.

“Senjata” apa yang perlu kita bawa.

Bak pebalap Moto GP, kita harus menemukan perpaduan tepat antara mesin, mekanik, dan memanfaatkan kekuatan kita sebagai pebalap.

Inilah yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan, menyelesaikan lintasan.

Sebelum merinci peran dan kekuatan mesin-mekanik-diri kita sendiri, mari berkenalan dulu dengan 3 kondisi mental yang mungkin menghambat perjalanan kita mencapai garis finis.

Tiga Contoh Kondisi Mental yang Perlu Kita Kenali

1. Narcissistic Personality Disorder (NPD)

Yang pertama adalah Narcissistic Personality Disorder (NPD).

Sudah sering dengar istilah gas-lighting, kan? Tahu dari mana asalnya? Konon demi menghemat penggunaan gas pada masa resesi dunia, seorang suami sedikit demi sedikit meredupkan lampu rumahnya.

Saat sang istri bertanya kenapa lampu rumah makin redup, sang suami menyangkal dengan mengatakan itu hanya perasaan sang istri.

Esok harinya saat sang suami makin meredupkan lampu, istrinya kembali menanyakan hal yang sama.

Bukannya berkata jujur, sang suami malah menantang istrinya untuk membuktikan bahwa lampu rumah memang meredup, tidak seperti biasanya.

Hari berikutnya, sang suami makin meredupkan lampu yang sudah redup itu.

Saking redupnya, sang istri sampai menyenggol dan menjatuhkan barang-barang di dalam rumah mereka.

Melihat kelakuan sang istri, suami memanipulasi dengan menuduh istrinya ceroboh dan tak becus mengurus rumah.

Tidak cukup sampai di situ, suami juga mengecilkan arti istrinya dengan menekankan bahwa dirinyalah sebagai suami yang selama ini selalu bekerja keras menghidupi keluarga.

Tapi begitu sampai rumah, ia masih harus mendengar keluhan sang istri soal lampu yang redup.

Karena tak bisa membela diri sendiri dan termakan tindak manipulatif sang suami, akhirnya istri itu meninggal karena jatuh tergelincir saat menginjak lantai yang basah di bawah penerangan lampu yang redup maksimal.

Duh... miris, ya! Apa susahnya sih berkata jujur? Seharusnya sejak awal sang suami memberitahu, lampu memang ia redupkan untuk menghemat gas.

Dari kisah itu, bisa kita mengenali ciri-ciri orang dengan NPD.

Selain senang mempraktikkan gas-lighting, pribadi manipulatif ini juga:

  • suka mempermalukan (shaming),
  • sering menyalahkan (blaming),
  • berpura-pura sebagai korban (playing the victim), dan
  • ingin memegang kendali (control issues).

Kalau istilah narcissistic, berasal dari mana, ya? Sudah pernah dengar nama Narcissus, dong! Ia adalah tokoh mitologi Yunani yang dikisahkan sangat kagum dan cinta pada diri sendiri.

Karena kecintaan berlebih ini, tak ada yang tahan berteman dengannya, kecuali...satu peri bernama Echo.

Echo tergila-gila pada Narcissus.

Sesuai padanan kata bahasa Inggris-Indonesia, Echo yang berarti ‘gaung’ atau ‘gema’ ini kerjanya hanya menggemakan semua kata-kata Narcissus.

Ia turut ke mana pun Narcissus pergi, bak kerbau dicocok hidungnya.

Lalu, apa yang harus kita lakukan jika terjebak dalam hubungan toxic dengan orang NPD? Jangan berkecil hati! Fokus dan bangun kepercayaan diri sendiri.

Kita bukan Echo yang tebing hatinya dijadikan tempat memantulkan kemauan dan pikiran orang lain.

Jangan hilangkan jati diri demi apa pun, apalagi hanya karena seseorang dengan kepribadian narcissictic.

Jangan percayai omongannya dan tetaplah berpegang teguh pada cerita versi kita sendiri.

Jangan terpancing narasi maupun emosinya, hindari kalimat yang berkesan menuduh.

Buang jauh keinginan berkeluh kesah apalagi secara panjang lebar, karena justru akan membuat kita makin terperangkap dalam permainannya.

Capcus, jangan berlama-lama di dekat orang seperti ini.

Elo, gue, end. Titik!

2. Obsessive Compulsive Disorder (OCD)

Yang kedua adalah Obsessive Compulsive Disorder (OCD).

Pernah meledek teman atau saudara yang senang merapikan barang-barang atau mencuci tangan berkali-kali sebagai pengidap OCD? Atau... mencap diri sendiri OCD karena bolak-balik memeriksa ini-itu? Eits, jangan sembarangan! Memang betul kecenderungan seperti ini merupakan ciri orang OCD, tapi ada beberapa hal lain yang menentukan keadaannya benar termasuk gangguan klinis atau bukan.

Benar gangguan jika—pertama, perilaku itu mengakibatkan seseorang jadi “hendaya” atau mengganggu kualitas hidupnya dalam bidang lain, misalnya dalam pekerjaan atau relasi dengan orang lain.

Kedua, perilaku itu menimbulkan gangguan emosi; jadi gampang mengamuk kalau “kegiatannya” diinterupsi.

Ketiga, intensitas (kekuatan atau kedalamannya) dan eksesivitasnya (berlebihan) tergolong berat.

Sesuai namanya, gangguan ini melibatkan dua tema sekaligus, yaitu (pikiran) obsesif dan (perilaku) kompulsif.

Pikiran obsesif adalah pikiran yang berulang, terus-menerus mendesak seseorang untuk melakukan sesuatu.

Kalau tidak dilakukan, seseorang akan kesulitan fokus melakukan hal lain.

Contohnya adalah berulang kali mencuci tangan—bahkan sampai tangan berdarah, berkali-kali mengecek kunci pintu atau kompor, sulit keluar dari kamar mandi, atau menghitung benda-benda serta langkah kaki.

Kalau ada yang berusaha menghentikan atau mengganggu, ia bisa marah, menangis, histeris, tremor (tangan/tubuh bergerak sendiri tak terkendali), berkeringat deras meski cuaca tidak panas, dan wajah terlihat lelah.

Sementara itu, perilaku kompulsif adalah gangguan kecemasan saat otak dipenuhi pikiran yang menetap dan tidak dapat dikendalikan.

Apa sebenarnya yang mendasari perilaku seperti ini? Apa yang membuat seseorang merasa harus berulang kali melakukan pengecekan, berkali-kali melakukan pembersihan? Mengapa pula ia begitu takut pada bakteri, debu, atau virus?

Bayangkan sebuah bendungan.

Ketika melihat limpahan air yang sewaktu-waktu bisa tumpah, apa yang akan kita lakukan? Kita akan berulang kali mengeceknya, khawatir ada yang bocor.

Membersihkannya dari benda-benda yang dapat merusak.

Kita juga meyakinkan bahwa semua berada dalam kondisi yang seharusnya.

Kita terus melakukan kendali agar air dalam bendungan itu tidak tumpah.

Seperti inilah perasaan orang dengan OCD.

Ia selalu berusaha menjaga bendungan agresi dalam diri.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Bendungan diri itu berisikan kemarahan, ketakutan, dan rasa bersalah.

Ia takut tidak bisa memenuhi harapan orang-orang yang dicintainya.

Ia takut berbuat salah sehingga akan mengecewakan orang-orang di sekitarnya.

Apa yang harus kita lakukan jika mengenal orang seperti ini? Makin sedikit gejala yang timbul, makin mudah ditelusuri penyebab kecemasannya.

Makin muda usianya, makin mudah dimotivasi.

Makin cepat terlihat/terdeteksi gejalanya, makin mudah pula ditangani.

Dengan kata lain, ini bukan jalan buntu! Berikut langkah-langkah yang bisa kita lakukan.

  • Jangan meledek/mencemoohnya.
  • Alih-alih mencegah/menahan tindakannya, berikan solusi agar ia tidak mengulanginya lagi.
  • Tunjukkan bahwa kita turut merasakan kelelahan yang ia rasakan dengan menanyakan bantuan apa yang bisa kita berikan padanya.
  • Ajak bicara agar ia dapat melakukan kontemplasi diri.
  • Carikan bantuan profesional.

Selain yang terlihat nyata dalam tindakan, ada pula OCD yang tidak termanifestasi dalam perilaku kompulsi, hanya bergemuruh dalam pikirannya sendiri.

Hal ini meliputi pikiran ingin membunuh orang, merasa sudah menabrak orang, takut terkontaminasi virus/bakteri, ingin bunuh diri, atau takut tiba-tiba mencelakai orang yang dicintainya.

Cara paling bijak untuk menyikapi hal seperti ini adalah mendorongnya untuk berobat.

Menyemangatinya untuk berkontemplasi, karena apa yang muncul di permukaan, bisa jadi merupakan tanda dari persoalan yang lebih mendasar di kedalaman bawah sadarnya.

Dan jika seorang OCD tiba-tiba membentak kita, tak usah baper, ya! Kemarahannya jangan semata-mata dianggap sebagai ekspresi kebencian.

Jauh di lubuk hatinya, ia sedang “crying-for-help”.

Kita sudah berkenalan dengan NPD dan OCD.

3. Postpartum Depression (PPD)

Kini yang terakhir, yaitu Postpartum Depression (PPD).

Gangguan yang satu ini bisa jadi yang paling populer di kalangan para ibu, walau bukan berarti semua sudah mengerti betul arti, ciri-ciri, dan cara mengatasinya.

Bisa dibilang hampir semua ibu baru mengalami perubahan mood, periode-periode penuh airmata, dan masa-masa sensitif setelah melahirkan bayi.

Perubahan-perubahan suasana hati ini secara umum disebut maternity blues atau baby blues, istilah yang merujuk pada munculnya kemurungan setelah melahirkan.

Pemicu utama PPD adalah ketidakseimbangan kimiawi atau hormonal yang terjadi karena melahirkan.

Sebagaimana sebutannya, kemuraman atau kemurungan merupakan warna emosi dominan yang memengaruhi perilaku ibu.

Jika berlangsung selama dua minggu, perubahan perilaku ini masih dianggap sebagai respons alamiah tubuh terhadap perubahan hormonal.

Lain halnya jika perasaan ini masih terjadi setelah lebih dari 2 minggu pertama atau 40 hari setelah kelahiran bayi.

Ciri-ciri PPD, antara lain:

  • merasa sedih terus-menerus,
  • ekspresi murung dan apatis
  • minim berinteraksi dengan bayi,
  • tidak berhasrat dalam kegiatan seksual,
  • ketidakpuasan dalam relasi sosial (tak ada yang ia percayai),
  • merasa kelelahan terus-menerus tapi sulit tidur,
  • sulit beranjak dari kamar/tempat tidur,
  • tidak punya minat terhadap apa pun dan selalu memikirkan soal kematian,
  • bicara dengan lambat dan nada suara rendah serta monoton, serta
  • sengaja menarik diri dari kehidupan sosial.

Kalau kondisi ini terjadi lebih dari 2 minggu pertama atau 40 hari setelah kelahiran bayi, jangan pikir dua kali untuk segera mengevaluasi dan mendeteksi hal apa saja yang jadi penyebabnya.

Evaluasi ini berguna untuk memutus pola keseharian yang tanpa sadar telah membuat seorang ibu tenggelam lebih jauh dalam liang depresi.

Tapi tentu saja, sulit mengharapkan orang yang sedang depresi untuk melakukan evaluasi diri, bukan? Di sinilah orang sekitar harus berperan aktif memberikan pendampingan.

Bagaimana caranya? Suami harus lebih memperhatikan istri, jangan bersembunyi di balik alasan “harus bekerja” atau “anak itu urusan istri”.

Bapak-ibu sekalian, anak itu tanggung jawab bersama, lo! Pikirkan baik-baik pula keputusan untuk “memulangkan” alias membiarkan istri kembali ke rumah orangtuanya.

Tindakan yang dianggap wajar dan membantu istri ini malah bisa memperburuk kondisi depresinya.

Mengapa? Karena ibu baru ini merasa dibuang, tidak dicintai, tidak diperhatikan.

Wahai, sesama ibu muda atau rombongan kerabat tersayang yang punya naluri menggebu untuk segera menjenguk ibu baru, jagalah omongan dan sikap kalian.

Bawalah makanan dan vitamin untuk ibu baru.

Bantu rapikan rumahnya.

Pijat punggungnya.

Berdoalah di rumahnya.

Ajak ia berjemur dan berolahraga ringan.

Selain tidak bikin repot, perhatian-perhatian sederhana seperti ini bisa membantunya lepas dari PPD.

Tak usah bertanya bagaimana proses melahirkannya, di rumah sakit mana dan berapa biayanya, kecuali dengan sukarela ia sendiri yang menceritakannya.

Baiklah, para pebalap Moto GP! Sebagai penutup, kita kembali pada 3 elemen penting untuk melintasi sirkuit, mencapai garis finis.

Mesin, yaitu kondisi jiwa atau kesehatan mental kita.

Jika gangguan yang dijabarkan di sini ada pada diri kita, segeralah cari bantuan profesional.

Atau, berikan bantuan bagi yang membutuhkan.

Mekanik, yaitu lingkungan sekitar atau orang-orang terdekat kita.

Berteman dengan penjual parfum, niscaya kita akan bau wangi.

Berdekatan dengan pandai besi, kita akan terkena bau asap.

Artinya, cari support system yang positif dan solid untuk mendukung kita.

Jika orang yang membuat kita tertekan, kondisi yang membuat tak nyaman, dan lingkungan toxic masih jadi makanan sehari-hari, sulit bagi kita untuk menjalani kehidupan sehat yang berkualitas, apalagi membuka lembaran baru.

Ingat bahwa untuk mencintai orang lain, kita perlu mencintai diri sendiri dulu.

Terakhir, kita sendiri sebagai pebalap, sebagai sopir pengendali setir.

Fokus tentukan tujuan, mau dibawa ke mana hidup ini.

Tak apa kadang terjatuh, kadang lelah.

Jangan lupa, di langit sana ada pintu Sumber-Segala-Bantuan yang selalu terbuka jika kita mengetuknya.

Jika ingin membaca buku Kenali dan Atasi: NPD, OCD, PPD bisa didapatkan melalui Gramedia.com.

Selain itu, ada gratis voucher diskon yang bisa kamu gunakan tanpa minimal pembelian. Yuk, beli buku di atas dengan lebih hemat! Langsung klik di sini untuk ambil vouchernya.

promo diskon promo diskon

Rekomendasi Buku Terkait

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com