Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Pelukan dari Duka: Menemukan Diri dalam Kepergian

Kompas.com - 04/12/2025, 18:00 WIB
Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti  Sumber Gambar: Dok. Elex Media Komputindo Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti 
Rujukan artikel ini:
Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin…
Pengarang: VERONICA GABRIELLA
|
Editor Novia Putri Anindhita

Ada masa-masa dalam hidup ketika dunia terasa terlalu cepat.

Semua orang berlari: mengejar waktu, karier, cinta, bahkan kebahagiaan.

Di tengah hiruk pikuk itu, terkadang ada seseorang yang hanya ingin berhenti, bukan karena lelah bekerja, melainkan karena hatinya kehilangan sesuatu yang tidak tergantikan.

Buku Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti karya Veronica Gabriella, terbitan YOI Books (Elex Media Komputindo), adalah seruan lirih dari seseorang yang memilih untuk berhenti sejenak di tengah dunia yang berlari kencang itu.

Bukan untuk menyerah, tapi untuk menatap duka yang selama ini dihindari.

Menemukan Diri di Tengah Duka

Sejak halaman pertama, pembaca akan merasakan nada yang lembut namun dalam, seperti suara seseorang yang berbicara pelan di antara isak tangis yang baru saja reda.

Buku ini lahir dari pengalaman pribadi penulis ketika kehilangan sosok ayah tercinta.

Kehilangan yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Dari situ, lahirlah perjalanan panjang memahami duka, merangkul kepergian, dan mencoba hidup kembali di dunia yang tak lagi sama.

Veronica tidak menulis buku ini sebagai kisah sedih yang ingin dikasihani, melainkan sebagai catatan jujur tentang perjalanan manusia menghadapi kehilangan.

Ia tidak berusaha tampak kuat, juga tidak bersembunyi di balik kalimat motivasi.

Justru karena kejujurannya itulah, buku ini terasa begitu dekat dengan siapa pun yang pernah mengalami kehilangan.

Kita bisa menemukan diri kita, dalam rasa marah yang tidak terucap, dalam kebingungan yang panjang, dalam diam yang menyesakkan.

Bahasa yang digunakan Veronica lembut dan personal, seperti teman yang duduk di sebelah kita sambil berkata, “Tidak apa-apa kalau kamu belum siap melanjutkan hidup.”

Ia membawa pembaca menelusuri setiap fase duka dengan jernih: dari penolakan, kemarahan, hingga penerimaan.

Namun yang menarik, penulis tidak membingkai duka sebagai sesuatu yang harus segera disembuhkan.

Justru, ia mengajak kita untuk hadir sepenuhnya di dalamnya.

Ia menulis, “Tidak ada jalan pintas dalam kehilangan. Kadang, satu-satunya jalan keluar adalah dengan berjalan perlahan di dalam luka itu.”

Buku ini tidak hanya berisi narasi linier tentang kehilangan, tetapi juga potongan-potongan refleksi, ilustrasi monokrom yang menyentuh, dan halaman-halaman yang terasa seperti grief journal—catatan pribadi yang kemudian dibagikan kepada dunia.

Hal itu menjadikan buku ini lebih dari sekadar bacaan, ia seperti ruang teduh tempat pembaca bisa beristirahat sejenak dari kecepatan dunia luar.

Membaca setiap halamannya seperti berbicara dengan diri sendiri, atau mungkin dengan seseorang yang sudah tiada.

Salah satu kekuatan buku ini adalah kemampuannya menyeimbangkan kesedihan dengan kehangatan.

Di antara cerita tentang kehilangan, selalu ada kilasan harapan kecil yang membuat hati terasa hangat: kenangan-kenangan kecil bersama ayahnya, nasihat yang dulu dianggap biasa tapi kini terasa berharga, dan pelajaran hidup yang baru dipahami setelah kepergian.

Veronica menulisnya tanpa berlebihan, ia tidak mencoba membuat pembaca menangis, namun justru dengan kesederhanaan itu, air mata bisa jatuh dengan sendirinya.

Selain menuturkan perjalanan emosional, buku ini juga berbagi tentang bagaimana penulis perlahan menemukan cara untuk menyembuhkan diri: melalui terapi, sesi konseling, menulis jurnal, hingga membuat ilustrasi sebagai bentuk ekspresi rasa kehilangan.

Pendekatan ini membuat buku terasa sangat nyata, bukan sekadar curahan hati, tetapi juga panduan lembut untuk siapa pun yang sedang berduka dan tidak tahu harus mulai dari mana.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Ia tidak memberi solusi instan, melainkan mengajarkan untuk berteman dengan duka, karena duka bukan musuh, melainkan bagian dari cinta yang belum selesai.

Makna Berhenti dalam Buku Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti

Judul Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti sendiri menjadi simbol dari pesan utama buku ini: tentang keberanian untuk berhenti di tengah dunia yang terus menuntut kita bergerak.

Dalam masyarakat yang sering memaksa kita untuk “cepat sembuh” dan “tetap produktif”, Veronica menegaskan bahwa berhenti bukan berarti kalah.

Justru, berhenti adalah bentuk perlawanan paling manusiawi, yaitu cara untuk memberi ruang bagi diri sendiri agar bisa benar-benar merasakan.

Kadang, untuk bisa berjalan lagi, kita memang perlu berhenti terlebih dahulu.

Keindahan buku ini juga terletak pada gaya tulis Veronica yang puitis namun tetap membumi.

Ia bisa menulis kalimat yang sederhana tapi menembus hati, seperti: “Aku kehilangan Papa, tapi aku juga kehilangan diriku bersamanya.”

Kalimat itu mungkin singkat, tapi menggambarkan dengan sempurna betapa kehilangan seseorang sering kali juga berarti kehilangan bagian dari diri kita.

Dari sinilah pembaca akan diajak merenungkan tentang siapa diri kita setelah kehilangan? Apakah kita masih orang yang sama, atau telah menjadi versi lain yang dibentuk oleh duka?

Secara visual, buku ini juga memanjakan mata.

Ilustrasi hitam putihnya memperkuat suasana reflektif, sementara tata letak yang tenang memberi ruang bagi pembaca untuk berhenti di setiap halaman.

Tidak ada dorongan untuk terburu-buru menyelesaikan bacaan, seolah penulis memang ingin setiap kata dicerna perlahan, dengan jeda, dengan napas.

Yang membuat buku ini semakin istimewa adalah kehangatan yang tersisa setelah halaman terakhir ditutup.

Alih-alih membuat pembaca terpuruk dalam kesedihan, buku ini justru memberi rasa lega, seolah kita baru saja selesai berbicara dengan seseorang yang benar-benar memahami.

Veronica tidak berusaha menghapus luka, tapi menunjukkan bahwa luka bisa menjadi bagian dari keindahan hidup.

Bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya, melainkan pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang cinta, waktu, dan diri sendiri.

Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti adalah buku yang pelan tapi dalam.

Ia bukan bacaan yang sekali duduk bisa habis, melainkan buku yang perlu disimpan di sisi tempat tidur, untuk dibuka kembali ketika hati terasa sesak.

Ini adalah buku tentang kehilangan, tapi juga tentang menemukan: kekuatan untuk melanjutkan hidup, makna di tengah hening, dan diri sendiri di antara reruntuhan kenangan.

Veronica Gabriella telah berhasil menulis sesuatu yang lebih dari sekadar kisah pribadi.

Ia menulis cermin bagi banyak orang yang pernah kehilangan seperti anak yang ditinggal orangtua, sahabat yang berpisah, maupun kekasih yang tak sempat berpamitan.

Dalam setiap paragrafnya, ada pelukan tak kasatmata yang berkata, “Kamu tidak sendiri.”

Mungkin dunia memang sedang berlari terlalu cepat, tapi buku ini mengingatkan kita bahwa tak apa jika kita berhenti sebentar.

Karena dalam berhenti itu, kita belajar untuk mendengar suara hati kita sendiri, suara kenangan, dan mungkin, suara mereka yang sudah pergi namun tetap hidup di dalam diri kita.

Dan setelah menutup buku ini, barangkali kita tak lagi sama.

Dunia mungkin masih berlari, tapi kini kita tahu cara untuk berdiri tegak di tengahnya, dengan perlahan, dengan tenang, dan dengan hati yang telah belajar berdamai.

Buku Dunia Berlari, Aku Hanya Ingin Berhenti bisa kamu pesan dan beli di Gramedia.com, Gramedia Digital jika ingin versi E-book.

Rekomendasi Buku Terkait

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau