Alexithymia adalah kondisi seseorang yang membuatnya memiliki kesulitan untuk memahami, mengidentifikasi, atau mengungkapkan emosi yang ia rasakan.
Penyakit kejiwaan ini bisa terjadi karena faktor genetik, faktor lingkungan atau kerusakan otak yang dialami penderita.
Hingga saat ini tidak ada penanganan khusus untuk penyakit Alexithymia, penanganan yang diberikan dokter tergantung dengan kebetuhan pasien atau kondisi yang mengiringi Alexithymia. Baca selengkapnya terkait Macam-macam Penyakit Mental.
Almond, adalah novel remaja Korea yang menjadi best seller karena sukses membangkitkan empati pembaca. Baca selengkapnya Resensi Novel Almond Karya Sohn Won Pyung.
Novel Almond adalah novel yang memberi harapan dan mengajarkan pada kita semua bahwa setiap anak lahir dalam kondisi suci dan bersih bagai kertas putih kosong.
Tokoh utama dalam novel Almond ini didiagnosa menderita Alexithymia atau ketidakmampuan mengungkapkan emosi serta merasakannya.
Yang terjadi pada tokoh utama di dalam novel Almond ini adalah “amigdala” di dalam kepalanya tidak tumbuh seperti anak normal lainnya.
Setiap orang memiliki ‘amigdala’. Letaknya jauh terbenam di belakang telinga hingga ke dalam kepala.
Amigdala adalah sekelompok saraf yang bentuknya kurang lebih sebesar biji almond. Namun, sepertinya ada masalah dengan ‘almond’ di dalam kepala Yoonjae, si tokoh utama.
Oleh karena itu, ia tidak dapat memahami mengapa orang lain tertawa atau menangis. Ia juga tak bisa merasakan dengan jelas apa itu rasa bahagia, sedih, cinta, dan takut.
Baginya, emosi dan empati hanyalah bayang-bayang samar. Bahkan, ia tidak dapat menunjukkan respons yang tepat pada saat temannya jatuh atau terluka, ia tak membantu atau bahkan sekadar untuk menyatakan empatinya.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Karena kekurangannya itu, Yoonjae dijuluki monster.
Walaupun keadaan Yoonjae seperti itu, ibunya tak menyerah. Ibunya sekuat tenaga menutup-nutupi keadaan anaknya yang berbeda itu.
Ibunya selalu mengajarkan bagaimana respons yang mesti dilakukan oleh YoonJae jika orang sedang merasa kesakitan, ketakutan, atau ketika bahagia.
Hingga YoonJae remaja pun terbiasa merespons berbagai kondisi emosi lawan bicaranya meskipun ia tak mampu menampakkan perubahan ekspresi seperti orang normal lainnya.
Hingga semuanya berbalik. Diawali dari Yoonjae berjumpa dengan “monster” lainnya, seorang berandalan bernama Gon.
Monster yang suka memukuli Yoonjae dan penasaran dengan kondisinya yang tidak bisa merasakan sakit dan tak mengaduh sama sekali ketika ditendang dan dihajar hingga babak belur.
Bahkan, Yoonjae tidak pernah membalas perlakuan kasar Gon kepadanya. Alih-alih balik memukul atau menyerang, Yoonjae malah menunjukkan “rasa kasih” kepada Gon.
Suatu “perasaan” yang selama ini asing bagi Yoonjae. Bahkan, Yoonjae dapat berbincang dan mendiskusikan hal-hal menarik bersama Gon.
Sohn Won-Pyung, pengarang novel ini, menulis, “Apakah anak ini dapat terus memberikan cinta tanpa peduli bagaimana dia tumbuh nanti?”, “Apakah aku sendiri juga bisa memberikan cinta?”
Ternyata, seseorang yang, bahkan, dilabeli sebagai monster karena tidak dapat menunjukan emosi yang tepat dan empati pada kemalangan orang lain mampu menunjukkan “rasa kasih”-nya.
Hal ini menjadi tamparan keras bagi kita semua yang belum pandai dalam mengelola empati.
Seseorang yang tak dapat merasakan emosi seperti sosok Yoonjae saja mampu merespons dengan tepat kemalangan orang lain. Lalu, kita sebagai orang “normal”, kenapa tidak bisa? Atau jangan-jangan “nurani” kita yang sakit! Semoga tidak.