Seperti apa sosok dan karakteristik santri di zaman sekarang? Untuk apa pula menjadi santri? Memangnya mau jadi apa? Apa manfaat dan peranan yang bisa dilakukan? Mampukah santri bersaing dan berprestasi di era teknologi informasi dan komunikasi?
Inilah pertanyaan-pertanyaan utama yang akan dibahas dalam Buku Generasi Emas Santri Zaman Now.
Buku ini akan memberikan pemahaman seputar dunia santri dan pesantren dalam konteks tantangan saat ini dan ke depan nanti.
Dipaparkan bagaimana seorang santri tidak hanya cukup membekali diri dengan ilmu-ilmu agama, tetapi juga pengetahuan umum, soft skill dan hard skill yang dijiwai oleh semangat kreatif dan inovatif.
Buku ini sangat bermanfaat dibaca untuk membuka wawasan, menggugah semangat, dan begitu menginspirasi dan memotivasi.
Buku Generasi Emas Santri Zaman Now ditulis oleh Nasrullah Nurdin, S.S., Lc., M.Hum. yang berlatar pendidikan pesantren.
Ia pernah nyantri di Pesantren al-Hidayah Basmol Jakarta Barat.
Penulis juga lulusan terbaik Sarjana Bidang Hadis dan Ulumul Hadis di Darus Sunnah International Institute for Hadith Science (2010).
Saat ini, penulis bekerja di Badan Litbang dan Diklat Kemenang RI Pusat.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca milenial, baik kalangan santri maupun umum.
Meskipun mengandung sejumlah topik serius, namun gagasannya mudah dicerna berkat bahasanya yang mudah untuk dimengerti.
Bahkan dalam banyak bagian menggunakan istilah-istilah gaul yang relate dengan generasi muda saat ini.
Santri dan Pesantren Saat Ini
Buku yang bersampul cukup menarik ini terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama, mencakup pendidikan agama, santri, dan pondok pesantren.
Bagian ini berisi wawasan umum tentang pendidikan pesantren, santri, kiai, dan kitab kuning.
Bahwa karakteristik santri tetaplah tidak berubah, sebagai orang yang mengenyam pendidikan pesantren, mendalami agama (tafaqquh fid din), dan menjalani kehidupan yang dijiwai oleh nilai-nilai pesantren.
Namun, untuk saat ini santri juga harus melek teknologi, mampu berinovasi, dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi umat.
Santri milenial adalah penyebutan untuk generasi yang mengalami masa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dengan internet sebagai jantungnya.
Inilah generasi era 2000.
Kemudian setelahnya disebut dengan generasi Z, yaitu generasi yang lahir, tumbuh, dan berkembang bersama teknologi informasi dan komunikasi.
Tapi apapun generasinya, karakter utama seorang santri tidak pernah berubah, bahkan dapat menyesuaikan diri dengan tantangan zamannya.
Karena itu, santri mampu memahami panggilan umat sesuai dengan watak perkembangan zaman dan memainkan peranan yang dibutuhkan.
Banyak peranan dan kontribusi yang telah diberikan santri dan pesantren sehingga secara resmi mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober.
Pengakuan ini didasarkan atas jasa dan perjuangan kaum santri dalam pembentukan NKRI dan pendidikan moral bangsa.
Inilah peranan yang harus dilanjutkan oleh para santri saat ini dengan prestasi dan inovasi.
Dalam "Hari Santri Nasional (HSN) Pengakuan Pemerintah atas Perjuangan Kaum Santri" penulis menyatakan:
"Penetapan hari santri nasional dilakukan agar kita selalu ingat untuk meneladani semangat jihad keindonesiaan para pendahulu kita, semangat kebangsaan, semangat cinta tanah air, semangat rela berkorban untuk bangsa dan negara" (hal.9).
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang menekankan pada pendalaman ilmu agama (tafaqquh fi din) dan juga pendidikan akhlak.
Ini sangat penting peranannya dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Banyak model-model pesantren yang telah berkembang sampai sekarang untuk melayani kebutuhan umat, meskipun secara garis besar masih terbagi dua, salafi dan khalafi.
Semua itu merupakan hasil ijtihad para kiai dalam merespon kebutuhan umat.
Pengajaran di pesantren berpusat pada kitab kuning yang masih diakui sebagai rujukan utama, di samping al-Quran dan hadis.
Pesantren modern sekalipun masih tetap menjadikan kitab kuning sebagai salah satu rujukan utama, bersama dengan pengetahuan umum (sains).
Karena tanpa kitab kuning, pesentren hanya sekolah biasa.
Karakter Santri di Era Digital
Bagian kedua, membahas karakter santri dan tantangan era milenial.
Bagian ini memaparkan tentang bagaimana karakter yang perlu dimiliki santri di era teknologi digital.
Ini sangat penting untuk ditekankan, karena mereka merupakan bagian dari generasi yang akan menjadi tumpuan harapan ketika terjadinya bonus demografi.
Merekalah yang akan mengisi pembangunan yang penuh dengan persaingan yang makin ketat, kompetisi yang tak kenal kompromi, dan hanya pemilik keunggulanlah yang akan berdiri dengan kemenangan dan kesuksesan.
Dalam "Pengertian Millennial, Jumlah Santri, dan Pesantren serta Bonus Demografi" penulis menyatakan:
"Untuk mampu bersaing, milenial tidak hanya membutuhkan kecakapan, tetapi juga kreativitas. Kreativitas akan membuat milenial mampu bertahan di tengah dunia yang cepat berubah. Kreativitas akan memunculkan inovasi baru" (hal.43).
Demikian pula santri milenial, peranan mereka diharapkan oleh umat.
Dengan berbekal ilmu agama dan umum, serta keterampilan (soft skill dan hard skill) mereka diharapkan memiliki peranan yang lebih baik dalam memajukan bangsa ini di berbagai bidang-bidang strategis.
Mereka bukan hanya menjadi penegak moral bangsa, tetapi juga menjadi mesin kreativitas dan inovasi.
Santri milenial bukan hanya mahir membaca kitab kuning tapi juga mampu memanfaatkan teknologi digital dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Beragam platform media sosial dapat menjadi sarana baru di bidang dakwah, penyebaran ilmu, dan penguatan kerukunan antarumat beragama.
Santri dapat memanfaatkan Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Youtube, Tiktok, dan lainnya secara kreatif dan menarik dalam menyampaikan pesan-pesan Islam yang ramah, damai, dan toleran.
Dalam "Santri; antara Mengaji Kitab Kuning dan Megang Gadget" penulis mengajak santri untuk memanfaatkan teknologi informasi bagi kepentingan dakwah Islam:
"Mari para santri milenial sebarkan ajaran Islam melalui literatur kitab kuning dan referensi keagamaan dengan baik dan benar, baik melalui media sosial maupun alat kecanggihan sistem informasi teknologi lainnya" (hal.51).
Budaya literasi menjadi kebutuhan yang mendesak.
Santri semestinya banyak membaca, baik buku, jurnal, koran, majalah, dan lainnya.
Terlebih pesantren begitu kaya dengan ajaran-ajaran yang mendorong santri untuk membaca.
Begitu melimpahnya seruan untuk membaca sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur'an, hadis, mahfuzhat, dan lainnya.
Sampai-sampai ada kata-kata hikmah yang begitu akrab di kalangan santri, "Buku adalah teman duduk terbaik pada setiap waktu."
Membaca akan meningkatkan kualitas literasi.
Hal ini menjadi suatu keniscayaan di era teknologi informasi, di mana segala informasi menyebar dengan begitu bebas tanpa ada batas mana yang benar dan salah.
Literasi akan menumbuhkan sikap kritis dan kreatif sehingga informasi menjadi ilmu yang bermanfaat.
Tanpa literasi yang memadai, informasi hanya akan menjadi tumpukan sampah dalam keranjang memori, tanpa tahu bagaimana memanfaatkannya.
Karena itulah, "Santri saat ini tidak hanya ngaji kitab kuning klasik, tapi juga ngaji literasi digital" (hal.73).
Dalam "Mengulik Dunia Literasi Santri" penulis mengajak santri untuk mengembangkan budaya literasi dan memanfaatkan teknologi digital untuk kepentingan agama dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan.
"Pada era milenial ini, santri dilarang buta literasi. Mereka harus open minded and thinking outside of the box terhadap revolusi teknologi informasi dan wawasan global di sekitarnya. Santri milenial abad 21 harus menguasai dunia maya. Mereka harus bisa menggunakan media sosial baik itu Facebook, Twitter, Line, Whatsapp maupun Instagram atau akun-akun jejaring media sosial lainnya, dengan baik dan benar, syukur-syukur untuk kepentingan dakwah, mengaji, menyebarkan dakwah Islam yang ramah tanpa harus marah-marah dan penuh senyuman (smiling Islam). Jangan menulis dan menebar berita bohong (hoax), menanggapi ujaran kebencian (hate speech) secara berlebihan, serta mencaci maki tanpa alasan yang jelas. Dan ketahuilah bahwa semuanya itu termasuk adabul 'ilmi wa nasyrul 'ilmi bagi seorang santri" (hal.78).
Budaya literasi sudah melekat dalam tradisi pesantren sebagaimana dicontohkan para ulama.
Mereka gemar membaca, menulis dan menyampaikan ilmunya, baik di pesantrennya hingga ke negeri-negeri Muslim yang jauh, seperti Haramain dan Mesir.
Para santri harus merawat tradisi ini baik melalui kajian dan perjalanan ilmiah maupun dengan tekun membaca dan menulis.
Apalagi tantangan santri zaman now sungguh tidak mudah.
Mereka harus memiliki wawasan keislaman (islamic studies) sekaligus menguasai literasi digital dan bekal jurnalistik agar mampu bersaing dan dapat memberikan kontribusi.
Hal ini sebagaimana dinyatakan penulis:
"Membaca, menulis, menyimak, berdiskusi, dan membicarakan sesuatu yang baik demi kepentingan agama, bangsa, dan masyarakat, menjadi skala prioritas pelajar muda-mudi, kaum sarungan, dan berjilbab ala pondok pesantren" (hal.78)
Selanjutnya, wajah Islam yang damai, ramah, dan toleran merupakan ciri budaya pesantren dengan akidah ahlu sunnah wal jamaah.
Hal ini harus dipertahankan di tengah penyebaran paham-paham radikal yang dapat mengancam keutuhan dan persatuan umat.
Islam dalam tradisi pesantren adalah Islam yang membawa kesejukan bagi umat dan ketenteraman bagi semua golongan.
Mereka yang Menjadi Inspirasi
Bagian ketiga buku ini menyajikan sejumlah tokoh yang telah bergulat dengan kesantrian dan kepesantrenan, dan menunjukkan keberhasilan di bidangnya masing-masing.
Ini menunjukkan, banyak hal yang bisa dilakukan oleh santri, banyak bidang yang terbuka untuk dijajaki, dan banyak pilihan profesi yang dapat ditekuni.
Santri tidak perlu bingung mau jadi apa.
Tokoh-tokoh hebat dan inspiratif ini antara lain Prof. Dr. M. Quraish Shihab (mufassir), Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub (ahli hadis), KH. Muhammad Syafi'i Hadzami (ahli fikih), Prof. Azyumardi Azra (Cendekiawan Muslim), Prof. Dr. Oman Fathurrahman (ahli filologi), Habiburrahman El-Shirazy (sutradara, novelis), Ahmad Fuadi, Ph.D. (wartawan, novelis), Yusuf Mansur, ME (dai, pengusaha), Dr. KH. Muchlis Muhammad Hanafi (Penerjemah Kepresidenan RI), Prof. Dr. Moh. Mahfud, MH, MD (Ketua MK), Abdul Somad,Lc., M.A. (Dai), dan Wali Band (grup musik top Indonesia).
Tokoh-tokoh ini berlatar belakang santri dan menjadi inspirasi di bidang yang mereka tekuni dengan memiliki kapasitas yang sudah tidak diragukan lagi.
Mereka santri dan mereka berprestasi. Kesebaran dan ketekunan, sebagaimana ditempa di pesantren, menjadi bekal mereka untuk mewujukan cita-cita.
Pengetahuan dan keterampilan menjadi konsentrasi mereka.
Keikhlasan menjadi akar cita-cita.
Menghadirkan sosok inspiratif dan representatif menjadi nilai tambah dari buku ini.
Hal ini semakin memperkuat argumentasi yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Bahwa santri yang memiliki keunggulan dapat berkriprah di berbagai bidang, mampu berprestasi, bersaing, dan meraih kesuksesan.
Di samping itu sosok yang dihadirkan juga menjadi inspirasi dan motivasi sesuai dengan latar belakang dan minat masing-masing.
Buku Generasi Emas Santri Zaman Now telah menunjukkan bagaimana besarnya peranan yang dapat dilakukan oleh santri, begitu luasnya bidang yang dapat dijelajahi, dan besarnya peluang yang dapat diraih.
Hal itu dimungkinkan jika santri memiliki karakter dan keunggulan, baik dari sisi ilmu agama, moral, sains, dan teknologi.
Pesantren yang membesarkan santri harus tanggap dengan kebutuhan ini, tidak hanya sebatas tafaqquh fid din, ngaji kitab kuning, tetapi juga melek literasi dan teknologi.
Buku ini memberikan gambaran bagaimana besarnya potensi santri di era informasi jika pendidikan pesantren terbuka terhadap berbagai kemajuan.
Membaca buku ini membuat kita optimis akan masa depan santri dan pesantren.
Beragam peluang dan tantangan pun dapat dihadapi dengan terus meningkatkan kualitas pendidikan santri dan pesantren.
Dapatkan buku Generasi Emas Santri Zaman Now di Gramedia.com.