Kuntilanak kerap digambarkan sebagai makhluk halus dengan sosok perempuan yang menakut-nakuti manusia dengan tawanya yang khas.
Penampilannya selalu dideskripsikan menggunakan pakaian atau jubah serba putih dengan rambut panjang menjuntai.
Meskipun pakaian atau jubah yang dikenakan kuntilanak identik dengan warna putih, tapi tidak jarang terdapat pula kuntilanak yang mengenakan jubah berwarna merah atau hitam.
Katanya, warna jubah yang dikenakan oleh kuntilanak ini merupakan tanda seberapa “kejam” makhluk astral yang satu ini.
Tidak jarang pula kuntilanak digambarkan mempunyai wajah yang hancur atau seram dengan kuku yang panjang dan aroma tubuh yang kurang sedap.
Makhluk halus yang satu ini juga biasanya melakukan teror menakut-nakuti manusia dengan muncul di kegelapan, atas pohon, bahkan sampai terbang.
Kuntilanak sendiri seolah-olah sudah menjadi urban legend yang tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan Indonesia yang memang dikenal mempunyai jenis hantu yang beragam.
Maka tidak mengherankan apabila banyak orang yang mungkin bertanya-tanya, dari mana sebetulnya asal-usul kuntilanak sendiri.
Untuk menjawab rasa penasaran akan asal-usul kuntilanak, simak penjelasannya berikut ini.
Asal-usul Kuntilanak
Menurut cerita yang beredar, kuntilanak pertama kali hadir saat pembangunan sebuah kota di antara pertemuan dua sungai, yaitu Sungai Landak dan Sungai Kapuas pada tahun 1771.
Terdapat upaya pembangunan kota di lokasi tersebut yang dipimpin oleh Sultan Syarif Abdurrahim.
Pendirian kota ini dianggap sebagai proyek yang strategis dan menguntungkan pada saat itu.
Hal ini dikarenakan lokasi di tepi sungai adalah tonggak penting dalam jalur transportasi.
Selama proses pembangunannya, hampir semua bahan-bahan bangunan yang digunakan berasal dari kekayaan alam sekitar, seperti kayu dan batu.
Saat para pekerja akan menebang pohon-pohon yang ada di sekitar sungai untuk dijadikan bahan bangunan, secara mendadak terdengar suara aneh melengking yang berasal dari atas pohon yang menjulang tinggi.
Munculnya suara menyeramkan tersebut berhasil membuat para pekerja ketakutan dan meninggalkan lokasi tersebut.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Kuntilanak tidak hanya mengganggu para pekerja saja, tapi masyarakat sekitar hingga nelayan pun tak luput menjadi korban gangguan makhluk astral yang satu ini.
Rumor akan kehadiran kuntilanak yang kerap mengganggu para pekerja dan masyarakat pun sampai ke telinga Sultan Syarif Baharuddin.
Pengusiran Kuntilanak
Bersama pengikutnya, Sultan Syarif Baharuddin pun memutuskan untuk mengusir kuntilanak tersebut karena dianggap sebagai roh jahat yang mengganggu banyak orang.
Masyarakat dan Sultan Syarif Baharuddin menyiapkan meriam untuk melakukan perlawanan terhadap kuntilanak.
Setelah ditembaki dengan meriam oleh masyarakat dan Sultan Syarif Baharuddin, kuntilanak-kuntilanak tersebut pergi melarikan diri menjauhi lokasi kota baru ke arah pedalaman.
Setelah berhasil mengusir pergi kuntilanak, pohon-pohon yang ada di sekitar sungai akhirnya berhasil ditebang untuk membangun Masjid Agung dan bangunan-bangunan lainnya.
Akibat peristiwa pengusiran kuntilanak yang berlangsung selama pembangunan, pada akhirnya kota tersebut diberi nama Pontianak.
Siapa yang menyangka jika asal-usul nama kota di Kalimantan tersebut ada sangkut pautnya dengan makhluk halus bernama kuntilanak.
Sosok makhluk halus yang berdasarkan urban legend ini memang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia hingga kerap diangkat menjadi cerita horor, baik dalam buku maupun film.
Berbicara soal cerita horor, buku berikut ini juga menawarkan cerita seram dari sosok perempuan.
Buku Sihir Perempuan yang dikarang oleh Intan Paramaditha merupakan kumpulan dongeng mengenai perempuan-perempuan yang dapat menjadi apa saja.
Buku ini menghadirkan 11 cerita pendek dengan peran-peran yang seharusnya nyaman diteror oleh lanskap kelam penuh hantu gentayangan, vampir, dan pembunuh.
Di sinilah perempuan serta pengalamannya yang beriak dan berdarah terpintal dalam kegelapan.
Dalam buku ini Intan Paramaditha meracik genre horor, mitos, dan cerita-cerita lama lewat perspektif feminis.
Buku ini telah meraih penghargaan 5 Besar Khatulistiwa Literary Awards (Kusala Sastra Khatulistiwa) di tahun 2005.
Sebagian cerpen dari buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stephen J. Epstein dan pada tahun 2018 terbit dalam buku Apple and Knife di Australia (Brow Books) dan Inggris (Harvill Secker/Penguin Random House).
Yuk, pesan bukunya di Gramedia.com.