Finding
“I've never experienced loss because I've never had a loved one to lose. What is grief, if not love persevering?”
Kata-kata itu diucapkan oleh Vision, seorang android, pada Wanda dalam serial WandaVision di platform Disney+.
Ucapan Vision itu menarik perhatian banyak orang karena memuat satu kebenaran: pengalaman kehilangan selalu berkaitan dengan cinta.
Pemicu grief atau perasaan kehilangan itu sendiri bisa bermacam-macam.
Wanda, misalnya, berduka karena semua orang yang ia cintai, termasuk Vision, meninggal.
Contoh lain, patah hati karena orang yang kita cintai menikah dengan orang lain.
Meminjam lirik nyanyian Nella Kharisma, pacaran karo aku, rabine ro koncoku (pacaran sama aku, menikahnya sama temanku). Pedih!
Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebaiknya kita kelola perasaan kehilangan itu? Kalau sedang dilanda kesedihan yang teramat dalam, apakah kita masih bisa berpikir dengan jernih?
David Kessler menawarkan bantuan.
Ia menulis Finding Meaning: Mencari Makna di Balik Dukacita, yang kini telah diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Dalam buku itu, setidaknya kita dapat menarik tiga inspirasi.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Pertama, David Kessler membantu kita untuk meyakini bahwa setiap peristiwa kehilangan dan semua penderitaan yang diakibatkannya memiliki makna.
Dengan kita mencari makna, tidak berarti kedukaan kita menipis atau jadi lebih sedikit—dapat saja kekosongan yang ditinggalkan tak akan pernah terisi lagi, tapi saat kita mampu menemukannya, makna itu akan menyembuhkan.
Kedua, makna menolong kita untuk berhadapan dengan aneka macam tantangan dalam kedukaan.
Salah satunya, pergulatan dengan pertanyaan mengapa.
Kenapa orang yang kucintai harus pergi secepat ini? Mengapa bukan aku saja yang mengalami hal itu? Bagaimana mungkin Tuhan tak menyelamatkan? Makna memberi kita perspektif baru untuk menumbuhkan harapan yang lunglai.
Ketiga, kita dituntun untuk pada akhirnya melihat wajah lain dari kepedihan, yaitu cinta.
Makin dalam cinta yang kita miliki, makin dalam pula kepedihan yang kita rasakan.
Namun, cinta itu pulalah yang memungkinkan kita untuk memaknai penderitaan.
Kematian atau kepergian orang-orang yang kita kasihi bisa saja memutus kebersamaan kita secara fisik, tapi tak pernah cukup kuat untuk mengakhiri cinta kita pada mereka.
Menurut saya, buku ini menawarkan inspirasi penting yang mampu membantu kita melampaui lima tahap kedukaan, dan perlahan-lahan menuju pemaknaan yang memulihkan sekaligus membesarkan hati.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata Winnie the Pooh, karakter beruang menggemaskan ciptaan penulis Inggris A.A. Milne, yang layak jadi pegangan, terutama saat kita terluka:
“Jika suatu hari tiba ketika kita tak bisa bersama-sama, simpan aku dalam hatimu, aku akan berada di sana selamanya.”