Istilah playing victim akhir-akhir ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita karena memang kerap digunakan untuk menyebut perilaku seseorang yang mulai viral semenjak digunakan di media sosial.
Mereka yang sering bersikap playing victim biasanya akan bertindak seakan-akan menjadi korban dan orang yang paling menderita.
Padahal nyatanya, justru dialah orang yang menyulut suatu konflik terlebih dahulu.
Seseorang yang selalu merasa menjadi korban biasanya akan banyak mengekspresikan hal negatif.
Mereka akan meyakini jika masalah yang timbul merupakan akibat kesalahan orang lain selain diri mereka sendiri.
Playing victim adalah sikap seseorang yang secara sengaja melimpahkan kesalahannya kepada orang lain.
Mereka akan menganggap diri mereka sebagai korban demi menghindari tanggung jawab atas kesalahan yang telah dibuat.
Playing victim sendiri kini sudah menjadi fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Banyak sekali anak muda yang mengaku sebagai korban playing victim di media sosial.
Pasalnya, playing victim dapat dijadikan sarana untuk mencari perhatian serta mengontrol pikiran dan perasaan orang lain.
Maka dari itu, tindakan playing victim termasuk ke dalam kategori perilaku toxic dan menyimpang.
Seseorang yang berperilaku playing victim biasanya berusaha bertujuan untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain.
Lantas, apa saja contoh perilaku playing victim yang mesti diwaspadai? Berikut contoh perilaku playing victim yang bisa dijadikan alarm dalam sebuah hubungan.
Seseorang yang sering berperilaku playing victim biasanya mampu bersandiwara atau berpura-pura dengan cukup meyakinkan di hadapan orang lain.
Tidak mengherankan apabila banyak orang yang akan percaya dan terjerat pada sandiwara orang yang berperilaku playing victim tersebut.
Banyak dari mereka yang merasa menjadi korban dan percaya jika mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengubah situasi yang ada.
Masalah demi masalah akan menghampiri orang-orang playing victim karena mereka merasa tak mampu untuk keluar dari jerat masalah yang terjadi.
Seseorang yang sering melakukan playing victim biasanya akan berusaha untuk menghindar dari tanggung jawab.
Seseorang yang berperilaku playing victim akan sulit untuk diberi tanggung jawab dan kebanyakan dari mereka juga sangat susah untuk dipercaya.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika banyak sekali masalah yang datang dalam kehidupan orang-orang dengan perilaku playing victim.
Mereka akan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada dirinya sebagai bentuk dalam menghindari tanggung jawab.
Contoh paling mencolok dari seseorang yang sering melakukan playing victim adalah emosi mereka yang menggebu-gebu.
Mereka akan mudah marah dan frustrasi terhadap semesta yang sepertinya selalu mengecewakan ekspektasi mereka.
Selalu merasa putus asa dalam memandang kehidupan yang rasanya begitu-begitu saja.
Mereka juga akan sangat sensitif apabila tidak dipedulikan oleh orang-orang yang mereka beri perhatian.
Apalagi saat melihat kesuksesan dan kebahagiaan orang lain, para pelaku playing victim akan mulai marah-marah.
Seseorang yang berperilaku playing victim cenderung mempunyai ego yang tinggi.
Apalagi ketika ada sebuah tanggung jawab yang seharusnya dipikul bersama-sama, mereka akan menyalahkan orang lain apabila timbul masalah.
Mereka juga enggan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Ketika ada kesalahan atau masalah yang ditimbulkan, alih-alih mengakui dan menghadapi masalah tersebut, menyalahkan orang lain dijadikan tameng bagi orang-orang yang playing victim.
Seseorang yang melakukan playing victim selalu membandingkan diri dengan orang lain dengan cara yang negatif.
Padahal setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Mereka akan selalu menganggap kehidupan orang lain terasa lebih beruntung daripada kehidupan mereka.
Hal ini dilakukan agar orang-orang di sekitar dapat menaruh rasa iba dan memberikan perhatian pada mereka dengan memanipulasi emosi.
Perilaku playing victim biasanya timbul akibat trauma atau latar belakang keluarga yang kurang harmonis.
Oleh karena itu, untuk menyembuhkan luka batin yang ditorehkan masa lalu dibutuhkan penelusuran dari akar keluarga.
Buku Family Constellation akan membantu menyembuhkan luka batin itu dengan menelusuri akar permasalahan keluarga.
Buku ini membahas berbagai trauma dan luka batin keluarga, seperti mengenali dan mengubah generational trauma keluarga, menyembuhkan inner child yang terluka dan mengasuh ulang diri dewasa kita, melepaskan limiting belief, serta memulihkan dan memperbaiki ikatan keluarga dan pasangan.
Bukunya bisa langsung dipesan di Gramedia.com.