Judul tulisan ini tampak relevan ditanyakan di hari-hari belakangan ini.
Ibu mana sih, di dunia serba sat-set-sat-set ini, yang menolak untuk bisa produktif? Seorang ibu ingin anak-anaknya tumbuh sehat dan pintar, tapi kerjaan lancar dan karier pun berprogres.
Kalau bisa, rumah rapi tapi tetap waras tanpa menjadi T-Rex menghadapi kerjaan rumah yang seolah tiada akhir.
Tapi sayangnya, kita hanya ibu-ibu biasa, bukan artis dan pejabat sultan yang punya dana berlebih membayar banyak orang untuk mengurusi anak dan pekerjaan rumah tangga.
Kita hanya ibu-ibu biasa yang sebisa mungkin mengirit pengeluaran, mencuci piring tapi tetap memikirkan kerjaan, atau menyusui anak sembari curi-curi waktu membalas pesan kantor.
Adapun tangan kita, hanya sepasang tangan biasa, bukan tangan wonder woman seperti tempelan dan imajinasi-imajinasi masyarakat yang menganggap seorang ibu harus bisa mengerjakan ini-itu di waktu bersamaan.
Oleh karenanya, yang paling utama dan pertama adalah penerimaan.
Menerima kata “cukup” untuk banyak hal yang masih bisa dikejar dan dengan tangan terbuka memahami jika tidak semua hal dapat diselesaikan dalam satu waktu, dengan kondisi sempurna.
Ada yang harus menunggu, ada yang tak mengapa tak sempurna, dan ada yang diikhlaskan hanya dengan menunaikan yang wajibnya.
Meski demikian, tidak berarti semua itu dilakukan seenak hati dan seadanya.
Tipe-tipe ibu dengan beban ganda, tentu harus pandai mengatur dan memanfaatkan waktunya agar jika kuantitas tidak dapat dimaksimalkan, kualitas tidak perlu dikurangi.
Ibu yang hanya memilih di rumah mengurus keluarga pun, sama perlunya menyadari keberadaan waktu yang terus bergerak maju.
Bukan hal mustahil, seorang ibu yang melakukan pengasuhan selama 24 jam di rumah mengalami kelelahan fisik dan mental, tapi kemudian berujung mempertanyakan diri sendiri, sebenarnya apa sih yang sudah kukerjakan seharian ini?
Di sanalah Islam menyingkirkan kabut penghalang untuk memandu ibu menjadi produktif, di dalam dan di luar rumah.
Tapi tunggu! Memangnya apa definisi produktif dalam Islam? Mohammed Faris, penulis yang aktif memublikasikan tema-tema produktivitas bagi muslim di seluruh dunia, membantu memberi penjelasan.
Dalam bukunya yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, “Muslim Produktif: Ketika Keimanan Menyatu dengan Produktivitas”, dia menjelaskan kewajiban muslim sehari-hari yang bisa mendekatkan pada produktivitas.
Bagaimana justru salat, yang sekilas bisa dianggap mengganggu produktivitas karena menyela pekerjaan dari pagi hingga malam, jika dipahami dengan lebih dalam, justru menjadi pengisi daya seorang muslim untuk menjadi produktif.
Misalnya, di sela-sela penatnya rutinitas siang, jeda sejenak melaksanakan salat Zuhur justru bisa membantu mengurangi ketegangan kerja dan mengisi lagi daya energi untuk melanjutkan pekerjaan yang tersisa.
Dia mendetailkan ritus-ritus ibadah muslim yang juga jika dimanfaatkan dan dilakukan dengan baik, akan membawa pelakunya menjadi lebih produktif dalam memanfaatkan sisa usia yang Allah titipkan.
Tapi bagaimana jika konteksnya adalah seorang ibu yang seperti penjelasan di awal tulisan ini, lebih sering memiliki beban ganda? Buku dr. Davrina Rianda, ‘Trias Muslimatika’, membahasnya secara spesifik.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Dr. Davrina membahas konteks produktivitas pada ibu muslimah.
Seorang ibu, apa pun peran yang diambilnya secara sadar, harus bisa memanfaatkan waktu yang dimilikinya.
Jika di dalam rumah, itu adalah kesempatan untuk mendidik peradaban dari rumah.
Jika memilih menambah peran di luar rumah, maka dr. Davrina memberi satu saran anti-gagal: miliki prinsip goal oriented, bukan tools oriented! Fokus pada tujuan, bukan alat mencapai tujuan.
Misal, fokus pada nilai gizi makanan sehat, bukan fokus pada menu dan bumbu-bumbu serta tata cara penyajian yang memakan banyak waktu.
Dengan cara itu, tujuan menyehatkan keluarga dapat terpenuhi tanpa harus direpotkan dengan berbagai menu berupa-rupa.
Tapi sekali lagi, ini butuh kompromi menerima yang sederhana di atas meja tanpa harus membandingkan dengan meja-meja keluarga lainnya.
Maka dukungan dan kesadaran keluarga soal prinsip mengutamakan goal ini, mutlak sudah harus dikantongi.
Pada dasarnya, goal oriented ini selaras dengan konsep “minimalism” yang kini banyak dikontenkan para influencer di layar gadget kita.
Prinsip ini mengutamakan inti, yang jika dipraktikkan dengan baik, maka beban bertumpuk bisa diminimalkan.
Berbelanja ke pasar sesuai kebutuhan bisa menghemat waktu ketimbang berbelanja bukan berdasarkan kebutuhan.
Oh, soal belanja ini, buku “Beli Karena Butuh” karya Andi Sri Wahyuni, Akt. menjawabnya dengan baik.
Kembali ke goal oriented, jika diterapkan dengan baik, maka banyak hal yang tidak inti bisa dipangkas.
Men-scrolling media sosial bukan inti, tapi mencuci piring mungkin bisa membuat kerjaan inti lebih mudah.
Menyusun pakaian di lemari dengan metode kekinian bukan inti, tapi menyelesaikan lipatan kering adalah penting.
Menanyakan kabar orangtua melalui pesan tentu saja inti jika dibandingkan dengan nimbrung obrolan artis di grup WA.
Terakhir, ketika semua telah diupayakan, buka dan tutuplah hari dengan penuh kepasrahan, dengan mengingat Allah dalam zikir pagi dan petang.
Dengan zikir, kita seolah kembali pada tujuan paling panjang dalam hidup, yang dengan baik dituliskan oleh Mohammed Faris di bab terakhir bukunya.
Untuk apa sih semua produktivitas kita? Semua capaian, semua lelah dan kerja yang kita curahkan, hanya satu yang harus kita pastikan.
Apakah semua itu diberkahi oleh Allah dan membuat-Nya rida atas hidup kita, ataukah jangan-jangan malah sebaliknya.
Dapatkan buku Trias Muslimatika di Gramedia.com.