Setelah diperjuangkan oleh para diplomat kita selama 25 tahun, maka gagasan Dekrit PM Ir. Djoeanda Kartawidjaja, tentang Wawasan Nusantara akhirnya diterima sebagai konvensi oleh UNCLOS atau United Nation Convention on the Law of the Sea pada tahun 1982.
Maka, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di kawasan Selatan Khatulistiwa, saat ini telah berkembang menjadi:
Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar wilayahnya di dunia yang terletak di kawasan Selatan Khatulistiwa.
Indonesia memiliki keunikan dari sisi geografis maupun demografis.
Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang beriklim tropis dan memiliki alam yang kaya raya terbentang di wilayah seluas 8.300.000km2.
Wilayah daratan Indonesia seluas 1.919.440km2 terdiri dari ribuan pulau-pulau sehingga memiliki pantai sepanjang 99.083km.
Di tengah-tengah wilayahnya, Indonesia memiliki gunung berapi yang masih aktif sehingga membawa kesuburan tanahnya sepanjang tahun.
Secara geografis, Indonesia merupakan pertemuan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dengan wilayah lautan seluas 6.380.560km2.
Itu belum termasuk wilayah laut secara jurisdiction, yang juga merupakan hak kedaulatan negara atau souvereign right atas Zone Economic Exclusive seluas 2.936.345km2 yang kekayaan alamnya bisa dinikmati oleh bangsa Indonesia.
Perairan dan dasar laut Indonesia kaya sumber tambang mineral, minyak bumi, gas bumi, ditambah berbagai kekayaan hayati dan nabati lainnya.
Hal-hal ini membuat NKRI memiliki daya fundamental kemaritiman luar biasa di dunia, terutama di antara negara-negara Selatan Khatulistiwa, yang saat ini disebut wilayah Indo Pasific.
Secara demografis, jumlah penduduk Indonesia yaitu sebanyak 270.000.000 yang terdiri dari kurang lebih 700 suku yang berbeda budaya dan bahasanya.
Penduduk Indonesia tersebar di 17.000 pulau-pulau yang ditumbuhi berbagai aneka tumbuhan tropis yang beragam sehingga terjadi perpaduan budaya dan potensi pasaran dagang yang sangat ideal bagi pertukaran komoditas antar pulau dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kesejateraan penduduknya.
Kekayaan alam dan bumi, serta letak corak geografis Indonesia adalah merupakan modal tak berwujud atau intangible assets capital bagi Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia.
Terutama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, serta dalam melakukan kerja sama Negara Selatan-Selatan dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Bila Bangsa Indonesia ingin mencapai cita-citanya seperti yang dikumandangkan dalam lirik lagu kebangsaannya, yaitu sebagai Negara Indonesia Raya, yang sejahtera pada 100 tahun setelah merdeka, hendaknya Indonesia menjadi Negara Maritim.
Artinya, Indonesia menggarap kekayaan alamnya, yang merupakan anugerah Tuhan YME dengan sebaik-baiknya dan dimanfaatkan sepenuhnya bagi kehidupan dan lapangan kerja oleh warganya.
Bangsa Indonesia dalam perjuangannya membangun bangsa dan negara telah memiliki landasan perjuangan, yaitu:
Semua landasan perjuangan tersebut merupakan hasil jerih payah dalam memperjuangan perwujudan Sumpah Pemuda 1928.
Ketiga pandangan perjuangan Bangsa Indonesia itu hendaknya menjadi tonggak landasan berpikir dan modal dalam melaksanakan Pembangunan Nasional menuju terbentuknnya Negara Maritim yang membawa kesejahteraan, berkeadilan yang merata ke seluruh penjuru Tanah Air.
Perangkat utama dalam pembentukan Negara Maritim adalah adanya political will, atau dasar keinginan dan semangat bangsa Indonesia yang dipimipin oleh Pemerintah Indonesia.
Political will ini maksudnya adalah tekad mendalami pengetahuan dan pengelolaan kekayaan alam milik Bangsa Indonesia secara mandiri.
Sedangkan, infrastruktur dan telekomunikasi, terutama pelayaran perlu ditata ulang karena merupakan alat perangkat kehidupan ekonomi dan budaya yang sangat strategis bagi terlaksananya Negara Maritim.
Untuk mewujudkan kesatuan cita-cita menjadi Negara Maritim Indonesia secara politik, budaya dan ekonomi, maka perlu ditata kembali infrastruktur perhubungan darat, udara, maupun perhubungan laut.
Yang menjadi fokus utama adalah pelayaran domestik atau antar pulau harus diwujudkan operasi pelayaran secara tetap, teratur, dan tepat waktu ke seluruh penjuru pelosok kepulauan wilayah Indonesia.
Hal ini karena pelayaran domestik adalah urat nadi kehidupan, persatuan dan perekat budaya bangsa Indonesia sehingga dipercaya oleh seluruh warganya sebagai penunjang kehidupannya saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam penataan kembali infrastruktur perlu diperhatikan:
Wilayah Hindia Belanda adalah kumpulan dari berbagai kontrak 1595-1799 antara Vereenigde Oostindische Company atau VOC yang diteruskan oleh pemeritahan Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda.
Kontrak tersebut dilakukan dengan masyarakat-masyarakat adat dan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.
Perjanjian-perjanjian tersebut dibukukan dalam suatu buku, yaitu: The Diplomaticum Neerlando Indicum.
Untuk mengawasi jalannya kontrak tersebut, maka pada tahun 1888 Kerajaan Belanda membangun perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij atau KPM.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Tugas KPM yang terpenting adalah melakukan pengawasan daerah jajahan dan menghubungkan antara pusat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan wilayah jajahan yang terletak di ribuan pulau-pulau, terutama dalam mengeksploitasi wilayah jajahan dan hubungan kegiatan ekonomi dan budaya rakyat setempat.
Kekuatan KPM diakui dunia, terutama dalam mengatur jadwal kapal secara tepat waktu dan efisien karena dioperasikan secara disiplin oleh tenaga yang terampil dan desain kapalnya disesuaikan dengan karakter alam dari pelabuhannya.
Aturan cabotage dijaga secara ketat karena Kerajaan Belanda menganut ajaran seorang ahli hukum laut, yaitu Prof Hugo de Groote dengan ajarannya: Mare Liberum atau Laut Bebas sehingga laut antara pulau-pulau merupakan laut bebas.
Menurunnya kualitas pelayaran dalam negeri terjadi setelah ada usaha Pemerintah Indonesia menasionalisasikan KPM, tetapi tidak sepenuhnya berhasil.
Hal ini karena kapal-kapalnya dilarikan ke Singapura dan tenaga ship management di Indonesia saat itu sangat langka.
Untuk menciptakan kembali kekuatan Indonesia dalam hubungan perdagangan internasional, perlu diaktifkan kembali:
Indonesia pernah melakukan kerja sama dan berkiprah dalam pelayaran internasional dan pernah memiliki kekuatan di pasar internasional, yaitu:
Dalam kerja sama ini terjadi kesepakatan pembagian muatan antara perusahaan pelayaran dari masing-masing negara anggota.
Sistim freight coference tidak berfungsi lagi bagi perusahan pelayaran Indonesia, kebijakan pemerintah Indonesia pada awalnya tidak menyukai sistem angkutan kontainer yang tumbuh dalam perdagangan internasional karena mengakibatkan pengurangan lapangan kerja bagi buruh Pelabuhan.
Kerja sama yang kemudian terjadi dalam pelayaran internasional muncul sistem konsorsium yang menggunakan kapal full container.
Yaitu, terjadi kerja sama antara beberapa perusahaan pelayaran dari berbagai negara dalam pembagian slot system antara anggota anggota konsorsium.
Kapal-kapal full container tersebut hanya akan singgah di beberapa pelabuhan main port (point to point).
Konsorsium pelayaran tersebut tidak menyinggahi pelabuhan Indonesia karena pada saat saya aktif, tidak ada perusahaan pelayaran Indonesia yang menjadi anggota konsorsium.
Sehingga, pengusaha-pengusaha yang ingin menggunakan jasa dari konsorsium tersebut perlu mengirim dengan kapal feeder ke Singapura atau ke Hongkong.
United Nation Conference on Trade and Development atau UNCTAD menetapkan suatu prinsip petunjuk berbagi muatan dengan aturan yang disepakati dalam Code Conduct for Linner Conference pada 6 Oktober 1983.
Dengan berpindahnya pusat industri dunia dari Kawasan Benua Eropa dan Amerika ke Wilayah Pasifik Barat, maka sistem kerja sama pelayaran global tentu mengalami perubahan, di mana alur pelayaran perairan Indonesia menjadi semakin penting.
Indonesia saat ini sebagai Poros Maritim dan Center of Gravity Dunia yang merupakan Kawasan Masa Depan Dunia karena:
Dalam percepatan Pembangunan Nasional menuju 100 Tahun Bangsa Indonesia merdeka pada tahun 2045, sangat penting hendaknya diciptakan fungsi ujung tombak pembangunan dengan membuat Policy Triple Helix Development.
Ini artinya terciptanya sinergi kerja antara Perguruan Tinggi, pemerintah, dan pengusaha.
Perguruan Tinggi dan berikut jajaran civitas akademi di kampusnya sangat penting dijadikan lumbung sumber daya manusia unggul yang menghasilkan:
Persatuan Alumni Perguruan Tinggi hendaknya dibangkitkan menjadi wadah perekat dalam menciptakan suasana yang harmonis antara Pemerintah – Pengusaha – Perguruan Tinggi.
Telah 3 kali diadakan pertemuan yang menghasilkan Forum Kerja sama Selatan Selatan, yaitu:
1. Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955 di Bandung, pengambil inisiatif:
Tujuan Konferensi Asia Afrika: menjalin hubungan sosial ekonomi dan kebudayaan dari negara-negara Asia Afrika.
2. Organisasi G -77 adalah suatu koalisi antara 77 anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, dibentuk tanggal 15 Juni 1964 di Jenewa, Swiss.
Tujuan: untuk menyediakan forum bagi negara-negara berkembang untuk mempromosikan kepentingan ekonomi mereka.
Jumlah keanggotaan sudah mencapai 134 negara.
3. Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1978 membentuk unit untuk Kerja sama Selatan Selatan untuk mempromosikan perdagangan negara Selatan Selatan dan koloborasi instansi tersebut.
Unit kerja sama ini dimanfaatkan oleh negara-negara Amerika Selatan dan Afrika.
Untuk keperluan di atas, pendekatan kesejahteraan melalui aktualisasi Kebijakan Pelayaran Nasional yang bersifat komprehensif harus menjadi bagian integral perangkat menuju Negara Maritim, dan hal ini merupakan kondisi prasyarat yang cukup mendesak.
Tujuannya adalah melakukan damage recovery akibat deviasi dalam penetapan prinsip cabotage dalam politk nasional, terutama dalam sistem Pelayaran Nasional dalam tugasnya memberikan kesejahteraan bangsa menuju Negara Indonesia Raya.
Buku Perangkat Negara Maritim bisa Anda baca e-booknya melalui Gramedia Digital.