Negara Paripurna: Buku yang Menyadarkan Aku Tak Sekadar Warga, Tapi Penjaga Cita-Cita

Lihat Foto
Sumber Gambar: Gramedia.com 
Buku Negara Paripurna
Rujukan artikel ini:
Negara Paripurna
Pengarang: Yudi Latif
|
Editor: Ratih Widiastuty

Aku tidak sedang mencari jawaban besar tentang bangsa ini.

Aku hanya ingin memahami mengapa rasa percaya pada negeri ini perlahan memudar dalam diriku.

Sampai akhirnya aku membuka lembar demi lembar Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila karya Yudi Latif—dan yang kutemukan bukan sekadar teori kebangsaan, tapi cermin: tentang siapa aku sebagai warga, dan siapa aku seharusnya sebagai penjaga cita-cita republik ini.

Buku itu tak langsung menjawab, tapi menggugah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kubungkam dalam diam.

Sebelum membaca buku ini, bagiku Pancasila hanya lima sila yang dihafal sejak SD.

Tidak lebih dari slogan yang diucapkan dalam upacara bendera.

Yudi Latif membuka mataku bahwa ada historisitas (sejarah panjang dan dalam) di balik kelahiran Pancasila yang selama ini kutanggap sebagai "barang jadi".

Review Buku Negara Paripurna

Melalui penelusuran historis yang mendalam, penulis buku menunjukkan bagaimana Pancasila bukan produk instan para founding fathers, melainkan kristalisasi nilai-nilai yang telah mengakar dalam peradaban Nusantara selama berabad-abad.

Nilai gotong royong, toleransi, dan keadilan sosial ternyata sudah hidup dalam tradisi lokal jauh sebelum Indonesia merdeka.

Membaca bagian historisitas ini membuatku merasa bersalah.

Selama ini aku menganggap Pancasila sebagai warisan yang usang, tidak relevan dengan zaman digital.

Ternyata aku yang tidak memahami akar sejarahnya.

Aku yang tidak menggali rasionalitas di balik setiap silanya.

Bagian yang paling mengubah cara pandangku adalah pembahasan tentang rasionalitas Pancasila.

Penulis tidak hanya menjelaskan apa itu Pancasila, tapi mengapa Pancasila menjadi pilihan rasional bagi Indonesia yang plural ini.

Buku tersebut berhasil mengurai bagaimana "Bhinneka Tunggal Ika" bukan sekadar slogan toleransi, tapi fondasi epistemologis untuk mengelola keberagaman, aku mulai paham.

Indonesia dengan 17.000 pulau, 300 etnis, dan 700 bahasa membutuhkan ideologi yang mampu merangkul sekaligus menyatukan.

Pancasila adalah jawaban rasional atas tantangan geografis dan demografis negeri ini.

Aku teringat pengalamanku bekerja dalam tim yang terdiri dari berbagai latar belakang etnis dan agama.

Sering terjadi gesekan, perbedaan pendapat yang memanas.

Kini aku sadar, cara kami bekerja sama dalam keberagaman itu sebenarnya adalah praktik Pancasila dalam skala kecil.

Sila ketiga tentang "Persatuan Indonesia" bukan hanya soal bendera dan lagu kebangsaan, tapi tentang bagaimana mengelola perbedaan menjadi kekuatan.

Yang paling menyentuh adalah bagian aktualitas—relevansi Pancasila di era kontemporer.

Yudi Latif tidak menghindar dari realitas pahit: korupsi yang merajalela, intoleransi yang menguat, ketimpangan yang melebar.

Tapi dia juga menunjukkan bahwa semua masalah itu justru membuktikan betapa urgennya kembali pada nilai-nilai Pancasila.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Saat membahas sila kelima tentang "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," aku terdiam.

Berapa kali aku mengeluh tentang ketimpangan ekonomi, tapi tidak pernah bertanya: apa kontribusiku untuk keadilan sosial? Berapa kali aku marah pada koruptor, tapi tidak pernah introspeksi: apakah aku sudah jujur dalam hal-hal kecil?

Penulis mengingatkan bahwa aktualitas Pancasila bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi setiap warga negara.

Ketika aku memilih untuk tidak menyuap polisi tilang, itu adalah praktik sila kedua tentang "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab."

Ketika aku menghormati tetangga yang berbeda agama, itu adalah perwujudan sila pertama tentang "Ketuhanan Yang Maha Esa."

Buku ini mengubahku dari skeptis menjadi believer, dari kritikus menjadi penjaga.

Aku mulai memahami bahwa Pancasila bukan dogma yang kaku, melainkan panduan hidup yang fleksibel namun berprinsip.

Historisitasnya memberiku akar, rasionalitasnya memberiku alasan, dan aktualitasnya memberiku tugas.

Kini, setiap kali ada debat politik yang memanas di media sosial, aku tidak langsung terpancing emosi.

Aku ingat pada nilai-nilai Pancasila: bagaimana berdebat dengan beradab, bagaimana mempertahankan persatuan di tengah perbedaan, bagaimana memprioritaskan kepentingan bersama di atas golongan.

Ketika melihat berita korupsi, aku tidak hanya marah, tapi juga introspeksi: sudahkah aku menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pekerjaanku? Ketika berhadapan dengan kemiskinan di sekitarku, aku tidak hanya prihatin, tapi bertanya: apa yang bisa kulakukan untuk keadilan sosial?

Buku tersebut mengajarkanku bahwa "Negara Paripurna"—negara yang sempurna sesuai cita-cita Pancasila—bukan utopia yang mustahil, tapi proses yang dimulai dari kesempurnaan setiap individu.

Tidak ada negara yang sempurna jika warganya tidak berusaha menjadi sempurna.

Buku ini membuatku sadar bahwa selama ini aku terlalu fokus menuntut negara menjadi sempurna, tanpa pernah berusaha menyempurnakan diri.

Aku menuntut pemimpin yang jujur, tapi tidak pernah konsisten dalam kejujuran kecil.

Aku menuntut toleransi, tapi sering intoleran pada perbedaan pendapat di lingkungan terdekat.

Negara Paripurna bukan hanya mengubah cara pandangku tentang Pancasila, tapi tentang diriku sebagai warga negara Indonesia.

Yudi Latif berhasil membuat sejarah yang kusut menjadi jernih, ideologi yang abstrak menjadi konkret, dan cita-cita yang jauh menjadi dekat.

Kini aku memahami bahwa menjadi warga negara Indonesia bukan hanya tentang memiliki KTP atau paspor berwarna hijau.

Lebih dari itu, menjadi warga negara adalah komitmen untuk menjadi penjaga cita-cita—historisitas yang memberiku identitas, rasionalitas yang memberiku arah, dan aktualitas yang memberiku tanggung jawab.

Buku ini mengingatkanku bahwa Indonesia bukan hanya tempat aku lahir, tapi amanah yang harus kujaga.

Dan Pancasila bukan hanya ideologi negara, tapi panduan hidupku sebagai manusia Indonesia yang paripurna.

Buku Negara Paripurna bisa kamu dapatkan di Gramedia.com.

***

Artikel ini merupakan salah satu karya terpilih dari Lomba Menulis Artikel “Buku yang Mengubah Hidupku” yang diselenggarakan oleh Ngaji Literasi Gramedia, sebuah inisiatif kolaboratif untuk mendorong budaya baca, tulis, dan refleksi literasi di kalangan generasi muda Indonesia.

Info lengkap tentang program ini dapat diakses di ngajiliterasi.com dan Instagram @ngajiliterasigramedia.

TAG:

Terkini
Lihat Semua
Jelajahi