**Tulisan ini akan mengandung banyak spoiler.
Membicarakan Dilan dan Milea memang seolah tak ada habisnya.
Sejak pertama kali terbit di tahun 2014, buku pertama Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 telah banyak mencuri perhatian, disusul dengan kedua buku penerusnya yang sama-sama menjadi best seller bertahun-tahun.
Pidi Baiq atau yang sering disapa Surayah membawa cerita ini jadi terasa berbeda dari novel-novel remaja pada umumnya.
Dilan 1990 adalah cerita dari sudut pandang Milea. Lebih tepatnya, Milea di masa sekarang menceritakan kembali kisahnya dengan Dilan ketika mereka berpacaran saat masih duduk di bangku SMA.
Milea sendiri adalah gadis cantik yang kebetulan baru pindah dari Jakarta ke Bandung, lantas takdir membawanya untuk masuk ke sekolah yang sama dengan Dilan.
Namun, siapa sebenarnya sosok Dilan?
Baca juga: Review Novel Seperti Hujan yang Jatuh Ke Bumi
Sang Peramal
Dilan muncul sebagai sosok laki-laki yang unik, bahkan cenderung aneh bagi gadis ibukota seperti Milea.
Pada tahun itu, tak banyak anak SMA yang mengendarai motor untuk berangkat sekolah. Namun sosok Dilan digambarkan sebagai anggota geng motor yang berpangkat “Panglima Tempur”.
Bayangkan, jika umumnya remaja tahun 90an butuh keberanian ekstra untuk sekadar mengajak berkenalan lewat surat atau titip salam, Dilan ini punya cara yang berbeda.
Pada pertemuan pertama, Dilan membuat Milea terheran-heran dengan ramalannya.
“Milea, aku ramal nanti kita akan bertemu di kantin.” (Dilan 1990, hal. 8)
Klise memang, karena rata-rata anak sekolah pasti akan ke kantin ketika waktu istirahat tiba. Tapi jika sosok Dilan ini benar-benar ada dan kita adalah Milea, pasti akan buat kita bingung sekaligus bertanya-tanya juga, kan?
Masa PDKT
Sebelum benar-benar memproklamasikan hubungan mereka di warung Bi Eem, masa PDKT mereka ternyata juga tak benar-benar mulus.
Milea yang memang cantik dan baik banyak disukai oleh laki-laki lain, salah satunya adalah Nandan si ketua kelas.
Namun, berbanding terbalik dengan Dilan, Nandan ini tipe laki-laki yang terlalu biasa. Sehingga cara pendekatan yang dilakukan Nandan justru tidak bisa menarik perhatian Milea sama sekali.
Hanya Dilan yang bisa terang-terangan masuk ke kelas Milea pada saat jam pelajaran hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi kado. Hanya Dilan juga yang cukup berani datang ke rumah Milea meski hanya untuk memberitahu menu baru di kantin.
Masa PDKT Dilan dan Milea menjadi sangat seru sebab Dilan memakai cara yang tak pernah dipikirkan orang lain sebelumnya.
Karena tindakan dan semua yang dilakukan oleh Dilan, Milea merasa menjadi perempuan yang sangat dicintai dan dihargai dengan cara istimewa yang tak biasa.
“Selamat ulang tahun, Milea. Ini hadiah untukmu, cuma TTS. Tapi sudah kuisi semua. Aku sayang kamu, aku tidak mau kamu pusing karena harus mengisinya. Dilan!” (Dilan 1990, hal. 72)
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Masa Pacaran
Ketiga buku Dilan memiliki fase cerita yang berbeda. Jika pada buku pertama fokus cerita ada pada fase ketika Dilan dan Milea PDKT hingga resmi berpacaran. Maka di buku kedua yaitu Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1991, fokusnya menceritakan bagaimana mereka berdua sangat jatuh cinta dan manisnya masa-masa pacaran.
Mereka berdua bahagia, meskipun gombalan yang dilakukan Dilan ketika masih PDKT tak seintens ketika sudah pacaran. Ini yang justru menjadikan buku kedua Dilan sesuai dengan realita, masa pacaran tak perlu lagi mengejar.
Masih mengambil sudut pandang dari Milea, ia menuturkan bagaimana susah senang mendampingi seorang panglima tempur geng motor.
Dulu, menjadi anggota geng motor memang cukup berbahaya dan Milea amat sangat khawatir tentang hal itu.
Pertengkaran-pertengkaran kecil tentang aktivitas geng motor mulai membuat hubungan mereka menjadi renggang.
Puncaknya adalah ketika teman baik mereka tewas akibat serangan dari geng motor lain.
Milea marah, menangis, sekaligus takut karena Dilan juga bisa kehilangan nyawanya kapanpun.
Kata itu pun muncul, mereka putus dan berakhir dengan pisah begitu saja.
Selang beberapa waktu dari buku kedua beredar dipasaran, buku ketiga yang berjudul Milea: Suara dari Dilan menyusul dirilis. Berbeda dengan dua buku sebelumnya, buku ketiga ini mengambil sudut pandang dari Dilan.
Lewat buku ini juga, pembaca seolah diberi penjelasan atas sikap Dilan yang tidak berjuang kembali ketika Milea meminta untuk putus di buku kedua.
Milea dan Dilan sama-sama diliputi amarah dan emosi yang tidak stabil. Usia yang masih remaja membuat mereka mengambil keputusan dengan tergesa-gesa.
Banyak salah paham yang terjadi pasca mereka putus, seperti anggapan bahwa masing-masing sudah punya pacar baru, padahal itu keliru.
Terlebih mereka berdua sudah berbeda kota ketika kuliah yang membuat kesenjangan hubungan mereka semakin terasa.
Baca juga: Review Buku Next Ria Ricis
Berdamai dengan Kenangan
Apa yang menjadi hal penting untuk dijadikan pelajaran dari ketiga buku Dilan adalah bagaimana mereka berdua menceritakan kisah ini dengan tenang.
Dilan bilang bahwa rasa cinta untuk Milea akan terus ada, bahkan ketika dewasa mereka bertemu tanpa sengaja, dan mereka mengakui tak ada yang berubah. Ada rasa kecewa ketika mengetahui banyak hal yang sebetulnya dapat diperbaiki.
Namun mereka berdua menyadari sepenuhnya bawah kisah Dilan dan Milea telah jauh tertinggal di masa SMA, pasangan yang mendampingi mereka kini adalah masa depannya.
Sosok Milea dan Dilan mengalami perkembangan yang baik dari segi emosi, sehingga pembaca ikut merasa tumbuh dewasa bersama dengan kisah mereka berdua.
Mereka pernah menjadi pasangan yang bahagia, penuh harapan, dan mengingat kenangan itu sebagai bagian dari hidup yang berharga.
Dari Dilan dan Milea kita belajar bahwa menerima baik buruknya masa lalu dan belajar dari kesalahan memiliki andil besar untuk membuat kita juga tumbuh lebih kuat dari sebelumnya.
Tak perlu takut merindu, biar kenangan jadi selayaknya kenangan, kisah masa lalu yang tak mungkin dapat terulang.