Ketika pertama kali film Titanic ditayangkan pada akhir tahun 1997, sambutan yang diterimanya begitu gegap gempita.
Para sineas memujinya sebagai sinema terbaik, karya terhebat, juga film yang dibuat dengan cerdas dan mengagumkan.
Tak tanggung-tanggung, 4 penghargaan Golden Globe dan 11 piala Oscar pun berhasil diboyong, belum lagi sederet penghargaan lainnya yang daftarnya terlalu panjang untuk disebutkan.
Tak ayal, kepopuleran itu membuat sejarah kapal Titanic dikenal cukup luas.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kapal mewah yang digadang-gadang mustahil tenggelam itu ternyata mengalami nasib buruk pada pelayaran pertamanya, dimana hantaman ke gunung es membuatnya karam dan menewaskan 1.500 penumpang, hingga membuat peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tragedi paling terkenal dalam sejarah dunia maritim.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa 33 tahun setelah Titanic terkubur di samudera, ada satu kapal mewah lain yang mengalami kejadian serupa, bahkan dengan nasib yang jauh lebih tragis.
Wilhelm Gustloff adalah kapal pesiar asal Jerman yang awalnya dijadikan arena berlibur bagi para pendukung Nazi.
Namun, di tengah kecamuk Perang Dunia II, kapal tersebut dialihfungsikan menjadi armada pembantu perang. Hingga akhirnya, pada tahun 1945, Wilhelm Gustloff ditugaskan untuk mengangkut pengungsi dari Pelabuhan Gotenhafen di Prusia Timur ke Jerman.
Kisah tentang Wilhelm Gustloff jarang dicantumkan dalam buku-buku sejarah, bahkan beberapa sejarawan berpendapat bahwa itu terjadi karena Adolf Hitler berusaha keras meredam semua berita buruk demi bisa menyelamatkan nama Reich Ketiga yang mulai pesimis akan memenangkan perang.
Imbasnya masih terasa sampai sekarang, karena peristiwa kapal nahas itu hanya disebutkan sekilas-sekilas seolah tidak penting.
Karena itulah kita patut berterima kasih kepada Ruta Sepetys, penulis keturunan Lituania kelahiran Amerika, yang mendedikasikan hidupnya untuk menuliskan bagian-bagian sejarah yang nyaris tersamarkan oleh waktu.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Berkat novelnya yang berjudul Salt to the Sea, Sepetys sukses mengangkat Wilhelm Gustloff ‘ke permukaan’, memperkenalkannya kepada para penyuka literasi terutama pembaca dewasa muda.
Kisah novel ini terbagi dalam empat sudut pandang tokoh utama remaja yang berasal dari negara serta latar belakang berbeda yaitu, Joana yang merupakan seorang perawat asal Lituania, ada Florian, seorang pengembara asal Prusia, lalu Emilia, seorang gadis asal Polandia, dan Alfred, seorang serdadu asal Jerman.
Walaupun terdengar rumit dan pembaca harus bergantian menatap dunia yang tersaji lewat mata yang berbeda, Sepetys menggunakan diksi yang lugas dan sederhana, sehingga kita bisa dengan mudah diajak meresapi jalan ceritanya.
Sepetys juga mampu menggambarkan kengerian perang yang harus dihadapi para tokoh, menceritakan betapa besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan diri, dan betapa mereka dipaksa keadaan untuk bisa bersikap dewasa.
Lewat bermacam peristiwa menegangkan demi bisa bertahan hidup, dan setelah bersaing dengan ribuan pengungsi lain, keempat tokoh tersebut bersua di Wilhelm Gustloff, tanpa tahu bahwa kapal itu mungkin akan menjadi tempat mereka meregang nyawa.
Butuh tiga kali tembakan torpedo dari kapal selam Rusia untuk membuat Wilhelm Gustloff tenggelam.
Sekitar 10.000 penumpang dimana setengahnya anak-anak, menjadi korban keganasan perang di Laut Baltik.
Karena itulah peristiwa ini disebut sebagai bencana paling mematikan dalam sejarah maritim.
Riset yang dilakukan Sepetys untuk menulis Salt to the Sea tidaklah main-main karena butuh waktu bertahun-tahun baginya melakukan perjalanan ke setengah lusin negara berbeda untuk bisa menyelesaikan naskah itu.
Usahanya tidak sia-sia, Salt to the Sea telah diterbitkan pada 60 negara dan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa.
Novel tersebut juga menerima banyak penghargaan literasi seperti Carnegie Medal, Golden Kite Award, dan Audie Award.
Terakhir pada Agustus 2021, Majalah Time juga memasukkan Salt to the Sea sebagai salah satu dari 100 novel young adult terbaik sepanjang masa.