Arti Konvensi Asia Afrika Saat Ini
Kita sudah beberapa kali membaca dan menulis mengenai Konferensi Asia-Afrika atau Konferensi Bandung pada bulan April 1955.
Konsep konferensi awalnya dimulai sebagai reaksi negara-negara bekas penjajah terhadap kolonialisme dan bagaimana membangun dunia dimana semua bangsa berdiri di pijakan yang sama.
Yang terpenting adalah bagaimana setiap negara harus bersikap untuk mencapai dunia yang damai. Selama konferensi, salah satu diskusi terpanas adalah apakah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) harus diundang.
Oposisi datang dari negara-negara Timur Tengah karena mereka khawatir dengan ideologi komunisme RRT. Pada akhirnya, panitia konferensi mengajukan pertanyaan “Jika RRT tidak diundang, apa arti Asia?”.
Kemudian RRT diundang. Meskipun pada awalnya RRT tidak terdaftar sebagai pembicara, pada menit-menit terakhir RRT memutuskan untuk berbicara. Pada saat itu, delegasi RRT yang diketuai oleh PM Zhou Enlai telah menunjukkan kemampuan diplomatiknya dengan sangat baik. Tidak hanya menerima dengan bijaksana kecelakaan pesawat Kashmir Princess, pidato PM Zhou Enlai telah menjadi cara luar biasa untuk menunjukkan pandangan RRT dalam urusan dunia.
'Kami datang ke Bandung bukan untuk melihat keragaman kami, tetapi untuk mencari persatuan'. Pernyataan ini tepat dan dapat diartikan sebagai salah satu pilar terpenting dalam kebijakan non-intervensi dalam masalah negara lain.
Setelah KAA/Konferensi Bandung, RRT mulai bergerak perlahan namun pasti untuk mendapatkan kembali posisinya dalam hubungan internasional. Sementara Indonesia, Thailand, India, Pakistan, Ceylon/Sri Lanka menjadi inspirasi bagi negara-negara Asia lainnya untuk mendapatkan kemerdekaannya, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, dan lainnya.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Arti Konvensi Asia Afrika Bagi Dunia
Apakah konferensi tersebut merupakan cerminan dari pemberantasan 'tirai warna' atau rasisme? Bukankah konferensi tersebut juga mencerminkan kebangkitan negara-negara bekas jajahan, sehingga membuka mata negara Barat bahwa negara-negara Asia-Afrika yang baru saja merdeka kini menjadi bagian penting dari urusan dunia?
67 tahun telah berlalu sejak konferensi Bandung digelar, yang pada saat itu merupakan era puncak perang dingin.
Saat ini pemain utama dalam urusan dunia tetap Amerika dan Rusia. Sementara RRT biasa disebut menjadi 'ahli waris yang menunggu', atau ahli waris duga. Namun demikian, RRT telah meninggalkan komunisme dan menjadi sosialis.
RRT menjadi salah satu negara adidaya ekonomi bersaing dengan Amerika dan meninggalkan Rusia di belakang. Bagaimanapun, dalam hal keunggulan senjata, Rusia sedang diperdebatkan apakah mereka di depan atau di belakang Amerika.
Bagi negara-negara Asia lainnya, peran geopolitik memegang peranan penting, khususnya bagi Indonesia yang merupakan negara maritim. Indonesia juga berada di urutan keempat dalam hal jumlah penduduk sekaligus pemeluk Islam terbesar di dunia.
Untuk RRT, dengan secara konsisten (sejauh ini) menunjukkan non-intervensinya, terutama dalam krisis Ukraina baru-baru ini. Kebijakan RRT tentang Belt and Road Initiative terhadap negara-negara kurang kaya, meskipun dikritik oleh negara Barat, diapresiasi oleh negara-negara yang kurang kuat dan miskin. Karena infrastruktur adalah pilar utama pembangunan, maka sangat penting untuk menciptakan lebih banyak kekayaan bagi warganya.
Krisis Ukraina perlu menjadi pelajaran, terutama bagi Indonesia. Pulau-pulau dengan populasi yang berbeda dari segi latar belakang, kepercayaan dan bahkan bahasa membutuhkan perhatian serius dari kalangan elit pemerintah. Pembangunan memiliki dua sisi tajam: konsekuensi menguntungkan dan tidak menguntungkan.
Di satu sisi, sesuai dengan semangat KAA/Konferensi Bandung, pembangunan meningkatan kesejahteraan warga negara melalui perlakuan adil dari elit pemerintah. Di sisi lain, pembangunan juga membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selanjutnya, Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Akankah kita tetap 'bebas tapi aktif' dengan menggunakan kata 'menyerang' ketika pasukan Rusia datang ke Ukraina? Akankah kita tetap diam dalam krisis Ukraina? Terlihat berbeda dengan para pemimpin kita yang memprakarsai KAA/Konferensi Bandung yang terang-terangan angkat bicara untuk mengundang RRT.
Menjadi atau tidak, itulah yang harus segera dipilih oleh elit dan pemerintah Indonesia. Indonesia perlu memposisikan diri sebagai salah satu pemimpin yang dikenal dalam catatan sejarah KAA/Konferensi Bandung dengan mengambil posisi yang lebih jelas dalam perkembangan internasional belakangan ini. Krisis Ukraina harus menjadi peringatan karena ini adalah pengingat tentang bagaimana Perang Dunia I dan Perang Dunia II dimulai.
Jika kita menginginkan hidup berdampingan secara damai seperti dalam semangat KAA/Konferensi Bandung, maka kita harus mewaspadai kemungkinan besar ancaman terhadap persatuan Eropa akibat situasi Ukraina. Ancaman ini dapat dengan mudah menyebar ke benua Afrika dan Asia.
Dogma lama Barat tentang 'memecah belah dan memerintah' dapat dengan mudah diulang. Posisi Hongaria dan sedikit sanksi terhadap posisi Uni Eropa dapat terjadi di Asia dan Afrika. Misalnya Australia, Singapura, Jepang, Filipina, Korea Selatan vs negara-negara Asia lainnya yang berbeda pendapat tentang perang Ukraina, yang dapat digunakan untuk memecah persatuan Asia dan Afrika.
Bagi Indonesia, posisi geopolitik kita yang krusial sangat penting untuk diperhatikan. Indonesia adalah jembatan bagi Australia untuk menembus Asia, sekaligus kunci dari propaganda politik yang sedang berlangsung dari Amerika, NATO, dan Australia terhadap Rusia.
Peringatan baru-baru ini kepada Uni Eropa, bahwa apa yang terjadi di Ukraina adalah rencana Rusia mengambil alih seluruh Eropa, dapat digunakan kemudian sebagai ancaman dalam pemikiran bahwa RRT juga bermaksud mengambil alih Asia dan Afrika dengan menggunakan Belt and Road Initiative sebagai salah satu alatnya.
Terakhir, mari tetap waspada dan ingat bahwa 'kepercayaan itu baik, tetapi kendali adalah yang terbaik'. Negara-negara Asia dan Afrika memiliki kebebasan untuk memercayai siapa pun pilihan mereka, namun demikian, kita perlu memiliki kebijaksanaan bahwa kita harus mengendalikan kepentingan dan nasib kita masing-masing.
Semoga semangat Konferensi Asia Afrika Bandung yang berlangsung 67 tahun lalu terus bisa diterapkan dalam hubungan antar bangsa di dunia saat ini, dan juga hubungan diplomatik Indonesia dengan RRT yang ke-72 tahun bisa makin mempererat hubungan kedua negara dan membawa manfaat pada masyarakat kedua negara.
Retnowati Abdulgani-Knapp, Penulis Buku A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia