Masa dan Wajan Duka

Lihat Foto
Sumber Gambar: Dok. Elex Media Komputindo
Buku The Things You Can See Only When You Slow Down
Rujukan artikel ini:
The Things You Can See…
Pengarang: Haemin Sunim
|
Editor: Ratih Widiastuty

Bagaimana cara untuk sembuh?”—pertanyaan ini terus berputar di kepala saya bersamaan dengan pertanyaan: kapan aku sembuh?.

Entah itu di masa lalu ketika saya menyadari bahwa saya diliputi banyak duka sampai itu menyakiti jiwa saya, maupun di masa kini ketika saya merasa telah menemukan jawaban atas pertanyaan itu.

Barangkali, hanya barangkali, ada jawaban yang lebih bagus yang bisa saya temukan.

Meski tidak tahu apa yang lebih baik dari yang telah saya temukan, saya tetap mencari, saya tetap mencoba belajar.

Bicara tentang duka, saya dipenuhi banyak duka ketika masih remaja—hampir seperti dibanjiri.

Saya kehilangan orang-orang yang begitu saya cintai.

Jika ditanya sebesar apa duka itu, jawabannya cukup besar, sangat besar—begitu besar sampai remaja yang selalu bertanya-tanya akan konsep cinta menyadari bahwa dirinya tengah jatuh cinta.

Saya akhirnya menyadari jumlah cinta yang kita miliki ternyata setara dengan jumlah duka yang kita lewati.

Artinya jika cinta kita begitu besar, kita akan tenggelam dalam ombak duka yang besar pula.

Di tengah pengembaraan saya dengan sampan kayu sempit di tengah lautan duka yang begitu luas, seperti manusia kebanyakan saya juga berburu kebahagiaan.

Saya bagai bajak laut yang berharap menemukan harta karun dengan berlandaskan petunjuk yang ada di peta yang entah dibuat siapa.

Namun, yang dulu saya tahu dan percaya adalah saya paling tidak bisa menjangkau daratan tempat harta karun itu tinggal asal saya bisa melewati lautan luas.

Jadi, strategi saya kala itu: lewati lautan duka terlebih dahulu, baru kemudian harta karun kebahagiaan bisa ditemukan.

Mungkin ini alasan saya begitu lapar akan kesembuhan, saya merindukan kebahagiaan—saya merindukannya sebanyak orang dewasa merindukan masa kecil yang tenang dan naif.

Di mata saya perasaan bahagia itu harus penuh, harus besar, harus mengeyangkan, harus begitu spesial, begitu berkesan—harus timbul setelah semua duka menguap, sebuah bentuk happy ending seperti pelangi setelah hujan.

Mungkin saya terlalu banyak membaca kutipan bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian di buku sekolah—barangkali kutipan itu perlu dikurangi.

Sampai kemudian tangan saya tertarik meraih buku Haemin Sunim, The Things You Can See Only When You Slow Down.

Isi Buku The Things You Can See Only When You Slow Down

Awalnya saya merasa skeptis dengan buku ini karena penulisnya merupakan ahli agama, tidak disangka saya malah menemukan jawaban atas pertanyaan yang bergaung selama bertahun-tahun di kepala saya melaluinya.

Betul kata Haemin Sunim (2020: 44) di salah satu halaman lain: “saat kita berusaha memahami sesuatu, cara paling efektif adalah membuang jauh-jauh prasangka dan mengamati dalam diam sehingga objek yang kita amati akan menunjukkan yang seharusnya kita pahami.”

Lalu, apa jawaban untuk pertanyaan: bagaimana cara untuk sembuh?—saya rasa pertanyaan ini terjawab bersamaan dengan pertanyaan: kapan aku sembuh?

Jawaban untuk ke dua pertanyaan itu tertuang secara gamblang di halaman awal, di bab satu yang judulnya: Istirahat (2020:17).

Begini jawabannya: “Untuk membersihkan sisa makanan yang lengket di wajan, tuangkan saja air ke dalam wajan dan menunggu. Setelah beberapa saat, makanan itu akan lepas dengan sendirinya. Jangan berusaha menyembuhkan luka kita. Tuangkan saja sedikit waktu ke dalam hati kita dan menunggu. Ketika kita merasa siap, luka itu akan sembuh dengan sendirinya.”

Itu jawaban sekaligus permasalahan saya.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Saya begitu lapar akan kesembuhan, haus akan kebahagiaan.

Saya berlari dan terus berlari kencang dalam ajang maraton kehidupan, di saat sebenarnya kehidupan kita bukanlah lomba maraton.

Saya terlalu tergesa-gesa untuk sembuh karena berpikir kesembuhan yang penuh hanyalah satu-satunya jalan kebahagiaan saya kelak terasa utuh.

Padahal kenyataannya tidak.

Duka tidak bertahan selamanya, tidak ada setiap hari—akan ada kebahagiaan di sela-selanya.

Saya hanya tidak menyadarinya, tidak merasakannya.

Kebahagiaan itu ada, sekecil dan sederhana seperti kita bisa bangun tanpa sakit pinggang dan kepala berdenyut, ketika makan makanan enak, maupun ketika mendapat diskon produk incaran.

Namun masalah utamanya, saya terlalu fokus untuk mencari kebahagiaan sempurna di saat manusia bukanlah makhluk yang sempurna sebanyak apapun kita mencoba dan sekeras apapun kita berusaha.

Melalui kalimat-kalimat yang begitu hangat dan tanpa penghakiman, Haemin Sunim seolah menawarkan segelas air putih dingin di tengah lelahnya maraton sepanjang hidup yang tengah saya jalani.

Mengajak saya untuk berjalan perlahan sebelum melakukan pendinginan dan rehat sejenak.

Sesuatu yang begitu asing di pikiran saya yang begitu bising.

Konsep yang begitu ganjil di tengah bumi yang berputar begitu cepat, 30 km/detik menurut Simon Lock, seorang peneliti di School of Earth Science di University of Bristol.

Kemudian dengan itu saya beristirahat.

Sebuah istirahat panjang dan layak di mana saya akhirnya bisa menarik nafas dalam sampai paru-paru saya terasa penuh, bukan melakukannya sebatas karena sistem tubuh.

Saya pun bisa merasakan nikmatnya makanan, membedakan nikmatnya ayam geprek yang sambalnya dengan atau tanpa micin.

Kemudian yang lebih ajaib adalah saya yang semula mengira membenci manusia dengan setulus hati, malah mulai menyukai berkumpul dengan manusia di sekeliling saya, saya mendapat energi setelah bertemu mereka—teman-teman kuliah seperjuangan yang tengah menunaikan skripsi, anggota keluarga yang begitu menghormati saya, keponakan lucu yang saya juluki kiyomi (cutie), dan orang baik lain.

Lalu suatu hari, ketika merayakan kelulusan seorang saudara-ketemu-gedhe-yang-memberi-saya-banyak-cinta akhirnya saya tuliskan: tadinya ku kira cinta itu menyakitkan, ternyata cinta juga yang menyembuhkan.

Kini saya hidup jauh lebih baik setelah menuangkan waktu ke dalam wajan kotor penuh duka saya.

Masa duka itu perlahan-lahan berakhir, memudar bersamaan dengan rasa lapar dan haus yang tadinya menggerogoti saya.

Seperti wajan kotor yang perlahan bersih, saya pun perlahan sembuh.

Ingin menemukan jawaban atas keresahanmu? Dapatkan buku The Things You Can See Only When You Slow Down sekarang juga di Gramedia.com.

***

Artikel ini merupakan salah satu karya terpilih dari Lomba Menulis Artikel “Buku yang Mengubah Hidupku” yang diselenggarakan oleh Ngaji Literasi Gramedia, sebuah inisiatif kolaboratif untuk mendorong budaya baca, tulis, dan refleksi literasi di kalangan generasi muda Indonesia.

Info lengkap tentang program ini dapat diakses di ngajiliterasi.com dan Instagram @ngajiliterasigramedia.

TAG:

Terkini
Lihat Semua
Jelajahi